Selasa, 19 Mei 2020

Berkelana

“Kota Koba jantung di Bangka Tengah

Tugu ikan itu jadi lambang e

Di Bai Pass pusat kantor kite

Di dunio dak de due e”

Suara akapela berganti dengan iringan dambus[1] yang melayu. Jari-jari ringkih atok[2] tidak henti memetik senar alat musik dengan wujud kepala rusa persis bertengger di bagian ujungnya. Mengiringi setiap lirik-lirik ciptaan mendiang Pak Suyudi yang selalu berhasil mengingatkanku dengan memori Kota Koba, kota yang semestinya tidak aku lupakan.

“Tentang kota itu, jangan terlalu kau ingat-ingat. Kau mesti berkelana. Indonesia itu luas dan kau bisa mulai dari sini.”

Keputusan itu memang terlalu mendadak. Sampai-sampai aku tidak bisa lagi menggugat keputusan mak untuk pindah ke sini. Perihal segala macam keperluan pindahan semuanya telah disiapkan, dan sama sekali tidak aku ketahui.

Aku khawatir kalau ini seperti keputusan-keputusan mak sebelumnya. Jakarta, Manado, Bali, hingga Aceh yang sempat menjadi tempat persinggahan yang berujung perpisahan.

Sebenarnya aku sempat memberikan pilihan kepada mak. Setidaknya setelah aku menyelesaikan studi SMA-ku yang tidak lebih dari satu tahun lagi, baru mak bebas ingin mengajakku berkelana ke mana pun juga.

Watak orang Sumatera memang tidak dapat lepas dari keluarga kami. Selain nada bicara yang terdengar keras, keputusan-keputusan yang dibuat pun bukan suatu hal main-main yang dapat diganggu gugat. Jadi aku putuskan untuk menerima segala keputusan mak untuk meninggalkan tempat yang selama ini memberikan kesempurnaan jingga di setiap langit senjanya.

“Ini mungkin yang terakhir kita berkelana bersama Ra. Setelah nanti kamu harus merantau dan meninggalkan kampung ini.” Mak berhasil membuatku diam tidak berkutik.

Di balik senyum, ia jelaskan Koba dan kampung ini sama saja. Aku pun tidak ingin memperdebatkan hal yang sudah telanjur terjadi. Meskipun terkadang aku gerah dengan mak yang tidak pernah konsisten atas tempat hijrah yang dipilihnya sendiri.  Namun, atok yang selalu menenangkanku. Atok selalu meminta agar aku selalu menghormati keputusan mak.

Atok yang meyakinkanku bahwa aku mesti melihat Indonesia dari sini. Dari sebuah kampung yang bernama Petaling. Terhitung sejak 1978, atok menetap di sini dan tidak pernah lagi pindah-pindah dari kampung ini.

Katanya, manusia itu selalu berproses. Mencari dan terus mencari. Sampai akhirnya atok memantapkan hatinya di kampung ini.  Kampung yang sekarang pun aku huni.

Atok pun pernah bercerita kalau Bangka Belitung ini punya banyak sejarah. Sejarah pertambangan dan perjuangan. “Ibarat manusia, Bangka Belitung ini saudagar kaya raya. Semua hal tercukupi dan melimpah.

Laut, perkebunan, budaya, semua ada di sini. Bahkan, seluruh tanah ini terhampar pasir hitam dengan harga tak terkira. Timah, yang semua negara memerlukannya,” kata atok sambil menyeruput kopi hitam kental dengan penuh kelegaan.

Aku menangkap benar maksud atok. Cerita singkat tentang Bumi Serumpun Sebalai. Dua pulau yang malu-malu menunjukkan bahwa timah mengalir di setiap mata airnya.

Aku jadi teringat cerita Andrea Hirata lewat bukunya Laskar Pelangi. Ia ceritakan lebih kurangnya negeri ini. Katanya, Tuhan memberkahi Belitong dengan timah bukan agar kapal yang berlayar ke pulau itu tidak menyimpang ke Laut Cina Selatan, tetapi timah dialirkan-Nya ke sana untuk menjadi mercusuar bagi penduduk  pulau itu sendiri.

“Semua orang punya pandangan masing-masing tentang sesuatu yang ditangkap mata. Itulah maksud Mak mengajakmu berkelana jauh-jauh mengelilingi Indonesia. Agar kamu bisa menangkap maksud yang tersimpan di setiap sudut negeri ini,” ujar mak yang datang tiba-tiba, kemudian duduk di tangga kedua di area pintu menuju dapur.

Aku pula duduk di tangga terakhir. Persis di bawah kaki mak. Tangannya langsung membelai halus rambutku. Lalu dengan telaten ia mengepang rambutku yang sebahu.

Mengamati wajah mak dan wajah atok setidaknya melegakan pikiran. Melihat tahi lalat keduanya di bawah dagu yang sesekali sendu namun mengguratkan rindu.

“Kamu masih ingat rumah Nek Ngah[3] Dayang, Ra? Kamu sekarang ke sana. Beri tahu nek ngah kalau mak pinjam dulang.” Ucap mak dengan kekhasan orang Sumatera yang seperti tidak perlu jawaban.

“Sekalian kau tanyakan songkok resam Atok, Mang Din yang menganyam,” timpal atok

“Memang ada apa, Tok?” tanyaku penasaran.

Atok mengatakan usai salat Isya akan ada nganggung di surau. Sebuah tradisi Melayu Islam Bangka, Berdoa sekaligus mengikrarkan simbol kebersamaan mempersiapkan hidangan-hidangan yang nantinya akan disantap bersama.

 Hidangan akan dibawa dengan dulang dan tutup tudung saji berwarna merah-hijau-kuning. Biasanya dulang-dulang akan dijunjung menggunakan salah satu tangan oleh kepala keluarga. Kepala keluarga. Ah, aku jadi teringat ayah.

Mengitari kampung ini sedikit melegakan pikiran. Melewati sungai, menyaksikan anak gadis hingga ibu rumah tangga dengan bakul besar di atas kepala berusaha menyerobot satu sama lain demi mendapatkan papan panjang yang terapung di air.

 Di waktu senja  semua bercengkerama. Di tempat yang tidak istimewa namun berjiwa kata mereka. Aik Benik sebutan sungai itu oleh mereka.

Aku mencelupkan kakiku di sungai. Dingin dan menusuk. Pikirku lagi-lagi teringat tentang ayah. Ayah yang sejak 17 tahun lalu tidak pernah lagi aku temui. Mak memang tidak pernah buka suara tentang keberadaan ayah.

Seperti halnya aku yang tidak sekali pun berani bertanya sepatah kata pun tentang ayah, karena jujur sangat sulit menanyakan hal seserius ini kepada mak. Hingga pada akhirnya aku tidak tahu bagaimana rupa ayah. Apakah seperti atok yang gagah?

Atau seperti bapak itu? Aku memandangnya lamat-lamat. Bapak yang tengah mengumpulkan daun hijau di dataran tinggi di depan Aik Benik.

Seperempat celana yang kugulung aku kembalikan ke bentuk semula. Aku berjalan mendekati bapak itu. Setelah cukup dekat aku amati daun yang ia kumpulkan. Ternyata, daun resam. Sejenis rumput namun dengan ukuran yang lebih panjang.

 Bapak itu menarik karung yang tepat di depan kakiku dan mendapati aku yang sedari tadi mengamati kerjanya. Dia menoleh. Aku menatap.

“Mang Din?” Aku menyapa tertegun. “Para?”  Mang Din yang kaget spontan mengubah alfabet F pada namaku menjadi P. Senang sekali aku bertemu Mang Din.

Selain karena rindu aku pun ingin menemui Mang Din untuk mengambil songkok resam atok. Setidaknya, aku tidak perlu bertanya kepada orang-orang tentang rumah Mang Din karena jujur saja aku juga sudah lupa jalan menuju rumah Mang Din.

Aku langsung naik ke motor bebek Mang Din. Motor yang masih sama sejak delapan tahun lalu aku ke sini. Kami menuju rumah Nek Ngah Dayang, yang tidak lain dan tidak bukan mak dari Mang Din.

Rumah Nek Ngah Dayang terletak di Kampung Cengkong Abang. Berjarak satu kampung dari Petaling. Perjalanan tidak akan terasa karena pemandangan batang-batang besar di sepanjang kampung membuat mataku tidak beralih menyorot dan mengabadikannya.

Motor tua itu berhenti di sebuah tugu. Berwarna putih. Kanan-kiri dipagari besi. Sejauh mata memandang hanya ada pohon-pohon tua. Melewati beberapa tikungan dan kuburan, dan sejak delapan tahun lalu bangunan ini masih di tempat yang sama. Jauh dari pemukiman penduduk.

Sepi dan mistis. Dahulu aku kira ini hanya tugu biasa, semacam tugu selamat datang, namun nyatanya kata Mang Din ini adalah saksi bisu perlawanan para pahlawan. Sebuah Makam. 

Angka 12 terpampang di atas sebuah tugu. Semacam simbolik tentang sejarah. Aku semakin mendekat dan menyaksikan warna merah pada angka 12. Aku membidiknya dengan kamera ponsel.

 Aku melihatnya persis dari segala sisi. Sekarang aku berdiri. Mang Din Mendekat. Sorot mataku mengarah pada daerah hutan. Gelap. Sebuah besi mengitari di awal pintu masuk. Tidak jelas tulisannya. Namun menyeramkan.

Mang Din duduk di salah satu anak tangga. Katanya, di dalam hutan itu ada sebuah sungai. Warnanya merah. Bukti pertumpahan darah. Bulu kudukku merinding.

 Tak banyak yang tahu perjuangan pahlawan Bangka Belitung. Padahal mereka punya andil besar menyelamatkan kekayaan bumi ini. Bahkan demi itu semua peluru menembak di kepala mereka. Namun kini semua orang seakan lupa.

Pukul 12.00 WIB, Tanggal 12 Rabiul Awal, Tahun 1367 H, di KM 12. Percaya atau tidak semua itu terjadi. Dua belas pahlawan gugur menghalau pasukan Belanda kemudian jasad mereka dimakamkan di sini. Di tempat aku berpijak sekarang. Tugu pahlawan dua belas.

“Dulu, di sini memang kuburan. Tapi sekarang jenazahnya sudah dipindahkan,” jelas Mang Din.

Setengah jam aku di sini. Menikmati cerita yang sulit dijangkau mesin pencarian Google. Motor itu langsung melaju kencang. Berhenti di sebuah bangunan yang mirip rumah atok. Rumah Panggung tempo dulu.

Aku bertemu dan memeluk Nek Ngah Dayang. Rindu sekali. Nek Ngah Dayang banyak berubah. Bawah matanya hitam, kakinya pincang. Aku duduk dekat sekali dengannya.  Melampiaskan segala kerinduan.

Seperti maksud awalku ke sini, Nek Ngah Dayang meletakkan dulang dan tutup merah terang itu di meja tepat di depan kami berbicara sekarang. Mang Din izin sebentar mengambil songkok resam atok.

Aku dan Nek Ngah Dayang berbincang mengenang masa-masa kecilku. Nek Ngah yang merupakan adik kedua atok juga sering sekali menceritakan hal-hal indah selagi ada nek Idang dan atok Idang.

 “Kau mirip sekali ayahmu, Ra,” Nek Ngah memandangku.

Aku terkejut dan langsung memandang wajah Nek Ngah. Mengisyaratkan menunggu sebuah lanjutan. Lama sekali aku menunggu cerita tentang ayah.

Namun tidak seorang pun yang bisa bercerita. Sampai hari ini. Setelah 17 tahun, Nek Ngah membuka pembicaraan itu. Aku menunggu. Nek Ngah diam.

Nek Ngah mendekat dan bercerita. Katanya, ayah sosok yang sedikit sekali bicara. Ia lebih senang mendengar. Namun apa yang keluar dari mulut ayah semuanya akan mengubah segala masalah menjadi solusi.

Jadi ayah dipercaya sepenuhnya menjadi tangan kanan Pak Subagja, pemilik perkebunan lada terluas di Bangka Belitung. Ayah ditugaskan menjadi kepala pengawas dalam pendistribusian lada di seluruh Indonesia. Ia harus berkelana mengelilingi nusantara demi tugasnya. Sampai akhirnya ayah pergi jauh sekali, hilang berita.

 

Nek Ngah menceritakan ini serealistis mungkin. Tidak ada kesedihan memang, aku malah merasa sangat takjub terhadap sosok ayah. Aku penasaran bagaimana keikhlasan perjuangan ayah demi tugasnya. Tanggung jawab yang luar biasa demi menghidupi keluarganya.

Pantas selama ini mak begitu senang berkelana. Jadi, berkelana selama ini bukan sekadar mendapati Indonesia. Namun berkelana mendapati Indonesia yang sesungguhnya. Karena Indonesia itu tentang keluarga.

***

Aku duduk di salah satu bangku di Malioboro. Membaca cerpenku yang dimuat di koran lokal dua tahun lalu. Tentang berkelana, Petaling, dan ayah. Semoga ayah membacanya. Fara rindu ayah.

 



[1] Alat musik khas Bangka Belitung

[2] Kakek

[3] Saudara nenek/kakek

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Etika dalam Menyimak

"Malu bertanya sesat di jalan”   sadar atau pun tidak ungkapan ini telah banyak mempengaruhi pemikiran masyarakat saat ini. Bertanya se...