Selasa, 19 Mei 2020

Pemabuk dan Tukang Nasi Goreng


Mungkin bila papan penggorengan bisa bicara, ia pasti mengeluh pada si tukang nasi goreng itu. Tubuhnya sampai hitam, kepanasan, dan tidak diberi waktu istirahat. Pengunjung seolah tidak ada habisnya mengadu tentang suara perut mereka yang perlu penenang. Warung tenda itu hampir tidak pernah sepi pengunjung. Semakin malam, semakin banyak pula pengunjung yang entah dari mana asalnya.

Ramainya warung tenda itu berakibat pada beredar desas-desus kalau si tukang nasi goreng itu menghidupi sepasang tuyul. Perkara tuyul yang katanya selalu duduk di bangku pelanggan, nyatanya sama sekali tidak berpengaruh sedikit pun. Warung tenda itu kian ramai. Meja bagian depan diisi keluarga besar seperti sedang hajatan. Sementara di sisi-sisi tenda suara cengengesan anak muda yang berbicara ngalor ngidul tidak kalah menambah riuh. Pun demikian dengan bagian pojok tenda, sepasang kekasih yan sedang berkencan pun mampir di warung tenda itu.

Warung tenda itu berdiri di tengah keramaian kota. Pertanda malam manusia tidak ada matinya. Warung tenda yang setiap malamnya selalu berhasil mengenyangkan perut-perut manusia. Tersisa satu meja terakhir yang seperti secara kebetulan khusus disediakan untuk suami istri yang baru saja datang. Suami istri yang entah menjadi pelanggan ke berapa malam itu.

“Seperti biasa ya Pak!” ujar si istri tersebut.

Saat tangan tukang nasi goreng cekatan menggoreng nasi, datang seorang pria paruh baya yang berjalan sempoyongan. Bicaranya tidak tahu arah. Mulutnya bau alkohol. Katanya ia lapar, sudah tiga hari tidak makan. 

Si tukang nasi goreng tidak acuh sedikit pun. Ia lebih peduli tentang nasib pelanggannya yang sudah tidak sabar menyantap sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi, ayam suir,  tomat, dan acar yang kelihatan segar. Terlihat sama saja seperti nasi goreng biasanya namun mengundang rasa yang luar biasa bagi pelanggan setianya.

“Sudah jangan dekat-dekat! Nanti pelanggan-pelangganku malah terganggu,” Kata tukang nasi goreng dengan nada ketus.

Bukannya mendengarkan, pemabuk malah jalan menyusur setiap pelanggan. Mengadukan nasibnya yang menurutnya malang. Di antara banyak pengunjung malam itu, ia menghampiri suami istri yang baru datang tadi.

“Bapak mau nasi goreng?” Tanya si istri tersebut dan disambut anggukan dari pemabuk itu.

“Bapak buatkan satu untuk bapak ini” Si istri kembali memesan nasi goreng   untuk pemabuk itu.

“Jangan mbak, nanti orang seperti ini malah melunjak,” Ketus tukang nasi goreng semakin menjadi-jadi.

Si istri itu hanya tersenyum dan mengangguk. Mengisyaratkan tak masalah. Sang suami menggeser kursi plastik di sebelahnya. Mempersilahkan lelaki paruh baya itu duduk. Dalam kondisi yang masih sempoyongan, pemabuk itu menceritakan perihal dirinya.

“Aku ini pemilik restoran yang terkenal, itu loh, Restoran Aroma Laut,” Bau   alkohol masih sangat menyengat saat pemabuk itu bercerita.

Suami istri itu mengangguk. Mengiyakan saja segala ungkapan pemabuk itu. Sementara, si tukang nasi goreng yang mendengar hanya tertawa ketus mendengar perkataan pemabuk itu. Ia tahu betul tentang pemabuk itu. Tidurnya di emperan toko elektronik depan jalan. Bajunya tidak pernah ganti, serta makan pun hasil dari minta-minta orang-orang yang ditemuinya.

“Bapak tinggalnya dimana?” Sekarang giliran sang suami yang bertanya.

Pemabuk itu langsung muram. Ia tidak tertarik dengan pertanyaan itu. Ia rasa tidak perlu pertanyaan semacam itu. Ia tinggal di tempat yang Tuhan berikan. Tempat dimana ia bisa menemukan segala hal yang ia butuhkah.

“Saya tinggal di sini mas, di tempat  yang bisa menerima saya.” Ujar pemabuk dengan nada yang sedikit diturunkan.

Suami istri itu merasa tidak menemukan balasan yang dirasa tepat dari ujaran pemabuk itu. Untunglah  si tukang nasi goreng akhirnya datang. Membawa tiga piring  nasi goreng yang masih mengepulkan asap-asap kecil.

Pemabuk itu berdoa melihat nasi goreng yang masih panas itu. Lantas menyantapnya. Wajahnya tidak menggurat ekspresi apa pun. Ia terlihat benar-benar lapar, namun tidak kalap sedikit pun. Pemabuk itu makan dengan tenang.

“Terima kasih mbak, mas. Semoga rezeki mbak dan mas dimudahkan Allah,” pemabuk itu langsung meninggalkan warung tenda seusai menyantap bersih nasi goreng itu.

Suami istri kompak mengumbar senyum.

***

“Warung nasi goreng di sini dulu dimana ya mas?” tanya si istri.

Setelah dua tahun, suami istri itu kembali lagi ke kota itu. Tepatnya mengobati rindu terhadap cita rasa nasi goreng yang selama ini menjadi langganan mereka.

“Sejak ada penertiban kota, warung-warung tenda sudah tidak diizinkan lagi mbak,” ujar anak muda yang sedang berjalan di trotoar tempat warung tenda itu dulu berdiri.

Suami istri itu sedikit kecewa. Akhirnya mereka memilih untuk makan di sebuah restoran. Mengindahkan anjuran anak muda yang  mereka temui di trotoar tadi. Katanya ada restoran nasi goreng yang sangat laris saat ini. Tepatnya di bekas ruko toko elektronik terbesar di kota ini.

Saat masuk, suami istri itu langsung disambut si tukang nasi goreng. Si tukang nasi goreng yang sekarang ternyata telah melebarkan usahanya. Nasi goreng ini masih saja ramai bahkan lebih ramai dari sebelumnya.

Namun kini, tukang nasi goreng itu sudah tak sesemangat dulu. Mungkin karena usianya yang semakin tua. Ia kini tidak lagi menggoreng nasi. Ia sedang menunggu kasir sambil memantau karyawan sekaligus menyaksikan pundi-pundi yang masuk setiap harinya. Suami istri itu takjub terhadap kerja keras si tukang nasi goreng yang sudah sangat berhasil.

Setelah menunggu cukup lama seperti biasanya, nasi goreng pun datang. Tampilan nasi goreng itu kini berbeda. Jauh lebih spesial. Nasi goreng itu diselimuti telur dadar, ditambah potongan udang goreng tepung, sosis, dan dua saus pilihan. Rasanya bisa dibilang jauh berbeda. Jauh lebih enak.

“Bagaimana mbak sekarang nasi goreng sudah ada  seafood-nya seperti nama restoran ini, Restoran Aroma Laut,” Tiba-tiba terdengar suara yang masih sangat suami istri itu kenali, pun demikian dengan nama restoran yang disebutkan tadi.

“Wah bapak, apa kabar?” ujar si istri setengah tidak percaya akhirnya bertemu pemabuk itu lagi.

Pemabuk itu datang mengumbar senyum. Wajahnya lebih berseri. Tubuhnya lebih bugar. Pakaiannya lebih rapi. Pemabuk itu mengambil kursi lantas kembali mengulang cerita yang dulu persis mereka ceritakan dua tahun lalu. Bapak itu menceritakan segala hal yang ia rasakan usai pertemuan terakhir mereka. Termasuk perihal warung tenda milik si tukang nasi goreng itu. Pemabuk itu bercerita kalau penertiban kota membuat semua pedagang kehilangan pelanggan setianya. Termasuk si tukang nasi goreng. Meskipun telah memiliki pelanggan setia, nyatanya setelah pindah di tempat lain, warung nasi goreng itu semakin hari semakin murung. Sepi, bahkan pernah sehari tidak laku sepiring pun.

“Mungkin sepasang tuyul itu sudah terlalu betah di tempat yang lama, mbak!” Pemabuk itu membisikan kalimat guyon yang seketika membuat suami istri itu menahan tawa.

Namun hal berbeda tampak dirasakan pemabuk itu. Hal besar menimpanya sejak saat itu. Sejak kota semakin memperketat aturannya, orang-orang tidak jelas arah seperti si pemabuk diberi tataran khusus. Ia dibawa ke panti sosial. Ia banyak mendapat pengarahan tentang bagaimana hidup semestinya. Dan saat itu ia merasa terlahir kembali. Terlahir dari rahim waktu yang membawanya di kondisi saat ini.  

Pemabuk itu juga menceritakan tentang nasib si tukang nasi goreng. Ia sama sekali tidak menyangka waktu mengubah segalanya begitu cepat. Kemalangan si tukang nasi goreng membuat ia sama sekali tidak tega. Meskipun selama ini selalu mendapat perlakuan ketus  dari si tukang nasi goreng itu, namun pemabuk itu tidak segan-segan mempercayakan si tukang nasi goreng menjadi kasir di restorannya. Ia merasa tukang nasi goreng sudah berpengalaman dan cocok mengatur keuangan di restoran ini.

Setelah menikmati nasi goreng dan cerita si pemabuk, suami istri hendak berpamitan. Pamit dengan segala pelajaran baru yang sekarang mereka dapatkan. Ketika suami istri itu hendak ke kasir untuk membayar, pemabuk itu segera menolak.

“Tidak perlu ke kasir untuk membayar. Nasi goreng di sini gratis, sepuas dan sesering yang kalian inginkan,”

Suami istri kompak mengumbar senyum.

***

 Sampai kapan pun, tukang nasi goreng akan tetap dikenal menjadi tukang nasi goreng sekalipun warung tenda itu sudah hilang. Pun demikian dengan pemabuk. Pemabuk akan tetap dikenal sebagai pemabuk sekalipun alkohol sudah tidak tercium dari aroma mulutnya.

 

Suami istri itu membaca kalimat penutup dari sebuah buku biografi. Tentang pemabuk dan tukang nasi goreng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Etika dalam Menyimak

"Malu bertanya sesat di jalan”   sadar atau pun tidak ungkapan ini telah banyak mempengaruhi pemikiran masyarakat saat ini. Bertanya se...