Selasa, 19 Mei 2020

Prakarsa Pemuda

 

Percakapan langit dan senja memang memukau. Hingga dua tim kesebelasan tertarik mendengar percakapan bisu namun teduh. Alangkah beruntung aku berada pada barisan anak kampung yang sukanya tak jauh-jauh dari bermain debu.

Berselonjor di lapangan bekas pijakan ternak yang menelan lahap rerumputan di bibir lapangan. Lapangan yang sukarela mengganti fungsinya terdahulu. Ini aku Prakarsa, penunggu lapangan hijau menanti lawan. Berlatih kejar-kejaran menembus gawang lawan.

“Pra, rumah Pak Ngah dipenuhi mobil-mobil mewah! kau diminta menghadap Pak Ngah sekarang!” ketika bola lusuh tertahan di kakiku manusia berbadan ceking menghampiriku. Mobil mewah katanya. Selama 17 tahun aku hidup di kampung ini, hanya mobil Ko Aon yang pernahku lihat. Dan itu pun hanya mobil pengangkut barang yang sudah tua.

“Kenapa? Bukannya Pak Ngah yang selalu memaksaku berlatih di setiap petang. Hingga setiap harinya bapakku selalu melibaskan ranting kecil yang pedas ke badan gelapku ini,” suaraku tegas.

“Sudahlah, jangan banyak bicara,” kata anak lelaki itu

Sebenarnya aku enggan meninggalkan lapangan ini. Setelah aku menantang keras tim sepak bola kampung sebelah yang katanya pantang terkalahkan. Mereka pun belum sampai kesini. Namun yang lebih aku khawatirkan adalah Pak Ngah.

Aku masih bisa membayangkan wajah pucat Farhan. Apa Pak Ngah membentaknya? menamparnya? Pikirku terlalu jauh, hingga aku lebih tertarik memandangi deretan mobil hitam mengkilap tersusun rapi di sepanjang rumah panggung Pak Ngah.

Aku melangkah di setiap anak tangga dan menyaksikan pemuda-pemuda bertubuh kekar dengan kacamata hitam mengkilap.

“Ternyata kelincahan kau hanya di lapangan, Pra. Untuk sampai ke rumahku saja kau perlu lima menit! Harusnya kau tak menganggap enteng permintaanku ini. Dasar keras kepala! Kau pasti tidak langsung mempercayai Farhan. Berbicara omong kosong yang pada akhirnya tetap mengantarkan kau kesini.”

Aku benar-benar tidak berkutik. Aku hanya menunduk. Tak ada beda antara Pak Ngah dengan bapak. Keduanya tegas sekali hingga aku selalu menganggap mereka memilik hubungan darah yang sama. Darah tinggi.

Setiap perkataan yang keluar dari keduanya selalu membekas. Terlalu sakit mendengar setiap kata dari Pak Ngah, sama sakitnya dilibas bapak dengan ranting kecil namun pedas.

“Maaf sekali Bung Han, aku harus memperdengarkan kau kata yang kasar. Sebagai seorang pelatih bukan sekadar teknik menendang yang perlu aku ajarkan. Aku ingin orang-orang seperti Prakarsa tidak mempermainkan waktu. Disiplin dan bertanggung jawab.”

“Aku paham Pak Bujang, aku sangat salut terhadap ajaranmu pada murid-muridmu itu. Hanya lima menit pun kau semarah ini.”

Pak Ngah tidak menghiraukan aku. Ia lebih tertarik bercakap dengan Bung Han (seperti yang aku dengar) yang terkesan menyindirku.

“Jadi kau yang bernama Prakarsa? aku sudah banyak mendengar ceritamu dari Pak Ngah kau ini.” kata Bung Han

Cerita? Bukannya tidak ada cerita menarik antara aku dan Pak Ngah. Mungkin Pak Ngah menceritakan kumpulan kecerobohanku yang mulai memudar berkat ajarannya yang begitu keras terhadapku.

Aku tidak menyesali semuanya, sejak melihat kelincahan Pak Ngah menggiring bola lantas tidak membuatku berpikir panjang untuk berlatih kepadanya. Ternyata, setelah berlatih bersama Pak Ngah semua tidak seperti yang aku pikirkan. Pak Ngah bukan hanya mengajarkanku bermain bola, namun juga bermain hati. Belajar melatih hati sendiri agar dapat mengontrol diri sendiri.

“Kau adalah anak kampung berbakat emas. Aku harap kamu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.”

“Maksud Bung Han?”

“Panggil aku pelatih Han. Ketika aku mengetahui ada bakat emas yang tersimpan di sebuah pulau kecil di Indonesia, aku cepat sekali menelusuri wilayah ini. Aku sama sekali tidak kecewa, ketika aku dan tim mengamati kehebatan anak kampung sepertimu.”

Aku benar-benar tidak mengerti. Pak Ngah bergerak melonjak maju mendekatiku. Persis duduk di sebelahku.

“Kedatangan Bung Han kesini bukan tanpa sebab. Bung Han akan menjadikan kau bagian dari tim kesebelasan Indonesia usia 20. Kau akan dipersiapkan menjadi bagian untuk bertanding di Liga Asia,” jelas Pak Ngah berterus terang.

Hampir semua yang dijelaskan Pak Ngah aku paham. Namun apa mungkin orang sepertiku menjadi bagian dari sepak bola Indonesia. Aku tidak memiliki kehebatan luar biasa.

Aku hanya anak kampung yang senangnya menghitamkan kulit dengan bermain bola dan dilibas bapak ketika pulangnya. Pelatih Han memandangku. Seperti tidak sabar menjemput sebuah harapan. Aku masih diam seribu bahasa.

“Sudahlah, Prakarsa aku tahu apa yang ada di pikir kau sekarang. Kau tidak perlu berpikir panjang. Cepat berlari temui Togar, bapak kau itu. Jelaskan berita ini. Berita yang sangat membahagiakan, tetapi tidak untuk Togar. Togar pasti akan bersikeras melarangmu, dan inilah tugasmu yang sebenarnya. Kau tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang menjadi impian kau, namun kau juga tidak ingin durhaka terhadap Togar.”

Pikiranku terbuka. Sekarang hatiku benar-benar dipergunakan. Aku tidak mungkin durhaka terhadap bapak, apalagi setelah kepergian ibu. Aku tidak mungkin egois, mementingkan impian-impian tidak pentingku itu. Aku tidak mungkin meninggalkan bapak seorang diri. Ia terlalu tua, sekalipun tubuhnya masih gagah.

Rasanya benar-benar sakit. Lebih sakit dari gawangku kebobolan tujuh kali tanpa balas. Di satu sisi tawaran itu impianku. Namun disisi lain ada bapak yang sangat menentang keinginanku ini.

Pikiran ini benar-benar mengantarkanku pada rumah semi permanen milik keluarga kami. Bapak telah memasang wajah penuh amarah. Ada apa lagi ini?

“Bapak telah mendengar berita itu. Apa maksud kau Pra? Kau ingin durhaka terhadap bapak kau ini? Untuk apa kau mengejar sebuah bola dari belasan orang lainnya?”

“Pra sama sekali tidak memiliki pikiran seperti itu. Pra memang mencintai sepak bola, namun Pra lebih mencintai bapak. Pra tidak akan meninggalkan bapak.”

“Egois kamu Togar,” entah kapan Pak Ngah tiba-tiba berada di sini namun suaranya benar-benar mengejutkan.

“Kau melampiaskan dendam masa lalu kau kepada Prakarsa. Prakarsa tidak pantas menanggung semua ini,”

“Jika kau tidak tahu apa-apa diam saja. Ini caraku mendidik Pra.”

Pertentangan bapak dan Pak Ngah membuatku terusir oleh bapakku sendiri. Aku sama sekali tidak percaya, bapak membuat keputusan yang begitu teganya. Namun Pak Ngah begitu bersahaja. Beliau memperkenankanku tinggal di rumahnya.

Pak Ngah mempersiapkan kamar kosong untukku. Suasananya hangat dengan berbagai ornamen kayu di setiap sudutnya. Sedangkan Pelatih Han dan tim diperkenankan menepati kamar utama yang bergaya melayu klasik.

Aku sangat menikmati keramahan Pak Ngah, tidak seperti biasa ia memperlakukanku. Mungkin beliau sedikit menyesal karena telah membuatku terusir dari rumahku sendiri.

Di sepanjang dinding terpasang foto-foto milik Pak Ngah. Dari masa belia hingga sekarang. Namun aku lebih tertarik memandangi foto Pak Ngah di sebuah lapangan hijau bersama sepuluh orang lainnya. Mereka begitu gagah.

“Foto itu saat Pak Ngah dikelompokkan dengan pemuda-pemuda hebat dari Jawa, Sumatra, Sulawesi, hingga Papua. Saat itu kami melawan tuan rumah Malaysia. Hanya saja kami masih gagal menjadi juara.”

“Pak Ngah, sepertinya wajah ini tidak asing bagiku,” aku menunjuk salah seorang pemuda di foto

“Itu Togar, bapak kau.” 

“Bapak? Bukannya bapak membenci sepak bola?”

“Itulah yang kau tak tahu Prakarsa, dahulu Togar adalah pemain yang hebat. Togar disandingkan dengan pemain-pemain hebat dari seluruh Indonesia. Karena ketegasannya ia dijadikan kapten memimpin pemuda-pemuda yang luar biasa.”

Cerita ini semacam sejarah. Sejarah hidup bapak. Ternyata bapak adalah pemain sepak bola yang hebat dulunya. Namun aku masih tidak paham kenapa bapak melarangku. Padahal sepantasnya bapak bangga aku mewarisi keahliannya dalam hal bermain bola.

“Prakarsa, sebenarnya ada sebuah peristiwa yang membuat Togar tidak mengizinkan kau bermain bola. Hampir setiap minggunya  Togar harus keliling Indonesia untuk bermain bola. Dan pada hari itu saat Pak Ngah, Togar, dan tim bertanding di negeri seberang, ada suara tangisan bayi laki-laki dari pulau kecil di daerah Sumatra. Bayi itu adalah kau, Prakarsa. Namun sayang pada hari bahagia itu Togar pun harus menerima berita pahit. Berita tentang kematian Ayu, ibu kau. Sejak itulah Togar menyesal, karena tidak dapat menyaksikan kebahagiaan sekaligus peristiwa kepahitannya.”

Aku hanya diam. Ternyata bapak menyimpan banyak sekali kesedihan. Sebenarnya bapak tidak perlu menyesali itu semua.

Aku berlari kencang menghampiri rumah. Tidak kuat lagi rasanya menahan gejolak hati yang ingin bicara.

Keputusan menerobos pintu masuk memaksaku mendapati bapak yang tengah berlinang dengan sebuah album. Foto ibu.

“Pra,” Bapak memelukku erat

“Pra, maafkan bapak tidak sepantasnya bapak memperlakukan kau seperti itu. Bapak terlalu egois.”

“Ini bukan kesalahan bapak, berhenti menyalahkan diri bapak sendiri. Pra sudah tahu semuanya dari Pak Ngah. Pra mengerti perihal kepedihan bapak. Namun kematian ibu sama sekali tidak ada kaitannya dengan bapak. Ini kehendak yang kuasa.”

“Benar Pra, seharusnya bapak tidak melampiaskan semua ini kepadamu. Tidak sepantasnya bapak melarangmu bermain bola. Bapak juga tidak pantas melarangmu menggapai impianmu.”

“Tidak aku sangka kau Togar, kau bisa sebijaksana ini. Tidak salah jika kau menjadi kapten dahulu, kau memang bijak mengambil keputusan.” Pak Ngah selalu datang di waktu yang tepat.

“Ini juga berkatmu Bujang. Anakku bisa menjadi pemain bola yang hebat. Terima kasih Bujang telah mendidik anakku seperti sekarang. Kau memang tidak berubah, hatimu sangat mulia.”

Tidak aku sangka bapak dan Pak Ngah akhirnya bisa kembali saling menyapa. Setelah kejadian dua puluh tahun lalu saat Bapak dan Pak Ngah bertengkar hebat karena kegagalan Indonesia menyabet gelar juara. Aku sangat salut dengan keduanya, sama-sama memiliki kemampuan yang luar biasa. Bukan sekadar permainan bola. Namun permainan hati.

***

Kembali terlihat deretan mobil hitam mengkilap. Namun kali ini deretan mobil itu ada di halaman rumahku.

“Maaf Pak Bujang, sepertinya kami harus kembali. Kami pun masih memiliki tugas mencari mutiara-mutiara terpendam di wilayah Indonesia yang lain.” Pelatih Han terlihat bersiap meninggalkan kampung kami.

“Tunggu.. bawalah Pra, Bung Han. Aku yakin kau bisa melatihnya hingga menjadi pemain yang luar biasa.”

Kami semua tertegun melihat bapak.

“Bapak apa benar yang bapak katakan?” Aku meminta kejelasan

“Iya Togar, apa kau yakin dengan keputusanmu itu?” Pak Ngah pun memberi perlakuan yang sama.

“Aku sangat yakin Bujang, Pra memiliki kemampuan dan kemampuan itu perlu diasah. Aku pun yakin Pra pantas meraih impiannya.”

“Terima kasih bapak! Pra tidak menyangka jika bapak akan mengizinkan Pra meraih impian Pra.”

“Ingat Pra ini bukan sekadar meraih impian, namun ini bela negara. Lakukan hal yang terbaik untuk Indonesia.”

Aku memeluk erat bapak sebelum keberangkatanku ke ibukota. Tidak aku sangka dalam satu hari ini aku melihat tangisan bapak dua kali.

“Bapak, Pak Ngah, doakan Pra berhasil!” Sejujurnya aku belum siap meninggalkan bapak.

***

Tiga bulan berselang. Aku menetap di asrama. Bersama pemuda-pemuda beda daerah, beda kepribadian dan beda pandangan. Aku tetap bangga sebab perbedaan ini berada pada satu tali yang terikat. Tali Indonesia.

Setelah semua impianku tersalurkan, aku hanya menunggu tanggal main yang tepat. Tanggal yang sangat aku nantikan. Berdiri tegak membela negara seperti yang bapak ceritakan. Aku tidak pernah menyangka akan bebas bermain dengan si kulit bundar di lapangan hijau yang luasnya tiga kali rumahku.

“Pra, kamu dipanggil pelatih Han,”

Aku menghampiri pelatih Han. Wajahnya gusar, seperti tengah memikirkan sesuatu.

“Pra, saya yakin kamu anak yang memiliki kemampuan dan pendirian. Saya harap kamu bisa mengarahkan pemain lain agar tetap berlatih, terutama berlatih hati. Sebab dengan berlatih hati kalian akan lebih siap. Siap bertanding secara sehat dan lebih sportif. Dalam sebuah pertandingan memang kita menuntut untuk selalu menang, namun kita juga tidak lupa bahwa setiap pertandingan pasti ada kemenangan dan kekalahan. Kita memang telah terbiasa kalah, namun bukan berarti kita lemah, dibalik sebuah kegagalan atau kekalahan biasa terselip berbagai pelajaran. Namun hal itu jangan menjadikan kalian rendah hati, tetaplah semangat!”

“Terima kasih pelatih Han, kami akan berusaha sekuat tenaga memperjuangkan kemenangan untuk Indonesia. Meskipun kami berbeda-beda tetapi kami tetap memiliki satu misi yang sama,”

Percakapanku dengan pelatih Han menjadi akhir sebelum kami harus bertanding di Liga Asia. Kami berlatih sekuat tenaga memperjuangkan nama Indonesia. Hingga kami menerima hasilnya. Usai lolos di babak final kami sedikit menarik nafas lega. Indonesia memang selalu lolos di babak final tetapi selalu gagal menjadi juara.

Peluit panjang berbunyi. Pertanda permainan dimulai. Kami berusaha menyelaraskan permainan. Hingga beberapa tembakan gol hampir melesat sempurna. Hampir dan hampir. Semua di luar dugaan. Hingga 90 menit berlalu dan lima menit tambahan waktu kedudukan masih saja imbang.

Hingga wasit memutuskan tendangan penalti bagi kedua tim. Tendangan pertama melesat sempurna membobol gawang lawan.  Tim lawan pun begitu. Namun tendangan kedua gagal. Tim lawan masih berhasil membobol gawang.

Hingga tendangan penentu dan tim kami pun gagal. Aku tidak ingin air di pelupuk mata ini tumpah, tetapi mau bagaimana lagi kami memang mengecewakan Bangsa Indonesia.

Sebuah rangkulan menyambutku dengan air mataku yang masih terus mengalir.

“Tidak semua pejuang harus menang. Hal yang kalian lakukan sudah luar biasa. Tinggal menunggu waktu yang tepat dengan sebuah kesabaran. Indonesia tidak akan kecewa tetapi akan sangat bangga mempunyai pemuda yang berjiwa kesatria membela Indonesia.”

“Bapak,” kataku dengan bibir bergetar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Etika dalam Menyimak

"Malu bertanya sesat di jalan”   sadar atau pun tidak ungkapan ini telah banyak mempengaruhi pemikiran masyarakat saat ini. Bertanya se...