Kamis, 30 April 2020

Perjalanan dan Pelajaran

Saat menulis ini, aku sedang di kamar dan tak berniat atau bahkan tidak bisa tidur. Jadi aku paksakan menulis kisah tentang kemarin. Tentang perjalanan dan pelajaran. Sekitar pukul 13. 40 sekian aku bersama kawan-kawan lain (yang baru hari itu aku kenal karena salah satu temanku) bermaksud mengunjungi satu persatu rumah mereka. Tujuannya memang satu, karena masih suasana lebaran jadi kami pun "namu" biasa orang Bangka menyebutnya. Sebelumnya aku memang sudah tau rute-rute mana yang akan dilewati. Namun rasanya semua di luar ekspektasi. Saat perjalanan dimulai dari satu kampung ke kampung lainnya. Tidak kusangka dari jumlah kami yang lupa kuhitung jumlahnya memiliki tempat tinggal yang berbeda desa setiap orangnya.

Perjalanan dimulai saat kami melewati kampung dengan sisi kanan dan kiri ditumbuhi pepohonan kelapa sawit. Jalanan tampak teduh dan sejuk. Tidak ada satu pun rumah di sepanjang jalan. Hingga sekitar ratusan meter barulah tampak perkampungan warga. Saat itulah pelajaran dimulai (namun aku tidak akan menceritakan bagian ini, demi menjaga kenyamanan satu sama lain :)

Setelah satu desa, kami ke desa lainnya. Untuk kali ini yang paling membekas. Karena jarak yang ditempuh cukup melelahkan apalagi harus dihadapkan dengan kondisi jalan yang bisa dibilang tidak dalam kondisi baik. Debu-debu berterbangan membuat mata terasa pedih. Melihat kondisi ini, aku sedikit berbincang dengan temanku.

"Mereka kok bisa sebegitu biasanya setiap hari ke sekolah: pulang-pergi"
"Mereka juga termasuk yang datang paling pagi" kata temanku.

Memang salut aku pada salah dua dari mereka yang berasal dari desa ini. Mereka rela menempuh jarak yang jauh demi sekolah. Mereka pun tampak datang paling pagi-dibandingkan temanteman lain yang rumahnya lebih dekat dari sekolah. Jadi memang tidak alasan untuk malas atau enggan ber sekolah. (Pelajaran kedua)

Kampung selanjunya. Ini yang paling membuatku tidak bisa menghalihkan segala pandangan. Jalanan disini seperti baru diaspal. Apalagi bukit-bukit berdiri persis didepan jalan. Sebenarnya aku pernah melewati jalan ini, namum tidak kusanggaka ketika menikmatinya dengan sepeda motor, semua bagitu memukau. Aku benar-benar tidak berlebihan. Rasanya ingin setiap hari melewati jalan itu. Jalan yang menujukkan arti kesyukuran. (Pelajaran ketiga)

Semua orang khawatir saat itu. Karena semakin senja. Semua berusaha menghubungi orang tua masing-masing dengan satu handphone secara bergiliran.
( karena hanya hp itu yang punya pulsa). Setelah memberikan kabar, kami pun ke rumah terakhir. Mengejar waktu agar tidak magrib dijalan. Di rumah terakhir ini kami disuguhi makanan yang mengurangi rasa lapar setelah melewati perjalanan yang melelahkan. Kami pun magrib dahulu sebelum akhirnya beranjak untuk kembali pulang. Jalan begitu gelap, sunyi, dan seram. Tapi syukurnya kami tiba dengan selamat. Terima kasih perjalanan,  kami begitu memberiku pelajaran.

Ada cerita selipan:

Kata ibuku ayah sempat meminta menyusulku karena begitu khawair. Ini sangat kontradiksi dengan jawaban ayah ketika aku telpon yang terdengar santai dan tidak ada khawatir sedikit pun :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Etika dalam Menyimak

"Malu bertanya sesat di jalan”   sadar atau pun tidak ungkapan ini telah banyak mempengaruhi pemikiran masyarakat saat ini. Bertanya se...