Selasa, 19 Mei 2020

Pondok Landai

Kayu renta pondok kecil itu, selalu keropos tiap disentuh. Pondok yang persis menghadap Pantai Sumur Tujuh sekaligus membelakangi sumur kembar tujuh yang  tidak pernah kehilangan pesonanya: meskipun telah termakan usia.

Sebenarnya  para nelayan sengaja membangun pondok itu untuk tempat singgah sebelum dan setelah melaut–nyatanya sekarang tempat itu lebih sering dijadikan tempat bermain bagi anak nelayan Sumur Tujuh.

“Pancar, sekarang giliranmu!”

“Wah! ka pelico ok![1]

Suara tawa riang anak-anak berumur lima sampai tujuh tahunan memenuhi seisi pondok. Anak-anak perempuan memerhatikan betul, setiap gerakan buah-buah kecil berwarna merah terang yang digerakkan menggunakan ibu jari. Buah berwarna merah terang itu berasal dari pohon saga, yang buah-buahnya berhamburan ditanah.

Sementara anak laki-laki lebih memilih bermain berpasangan. Mengadu kekuatan, dengan mengetuk buah karet yang telah dikumpulkan dari kebun karet milik Pak Yas.

Landai terlihat paling jago menggenggam tangan memangkak[2] karet dengan sekuat tenaga. Ia selalu berhasil menghancurkan kulit buah karet dan dengan bangganya. Sementara Bujang hanya menjadi penonton atas kemenangan Landai, yang berujung mendapat hukuman berupa sentilan di bagian telapak tangan.

“Pancar, tolong! Itu di bawah!” Landai mengarahkan telunjuknya melihat buah karet bergelinding di bawah pondok. Pancar yang berada tidak jauh dari tangga pondok, sesegera mungkin menundukkan tubuhnya masuk ke bagian bawah pondok.

“AAAAHHHHHH!!!!!!” Teriak Pancar dengan nada melengking. Ia terburu-buru naik ke atas pondok dengan wajah pucat pasi.

“Ada apa? Ada apa? Ada apa Pancar?”

Anak-anak lain berhamburan mendekati Pancar. Sedangkan Landai si hitam, dengan penuh selidik langsung turun dan memastikan apa yang sebenarnya terjadi.

“Jadi, cuma ini!” Ujar Landai enteng, dengan tampak seekor anak ular telah terlilit di tangan Landai. Tidak ada rona ketakutan di wajah Landai. Ia malah bangga atas tangkapannya itu.

“AAAAAHHH,” sontak semua anak terkejut.

“Buang Landai! Buang! Buang! Nanti ular itu menggigit mu,” anak-anak histeris dan berusaha menjauhi Landai.

“Ini cuma anak ular kok,” ujar Landai sekali lagi dengan enteng dan percaya diri.

“Lihat Pancar dia melihatmu! Ini ambil!” Landai langsung meletakkan anak ular itu di telapak tangan Pancar.

Pancar dan anak-anak yang berada di atas pondok kucar-kacir menghindari Landai yang tertawa lepas mengamati teman-temanya yang ketakutan: bahkan menangis.

 “Berhenti Landai! Berhenti Landai! Berhenti!” Anak-anak hanya bisa berteriak dan melompat diatas pondok yang semakin bergoyang.

Anak-anak melangkah ketakutan. Kaki-kaki kecil itu membuat papan-papan rapuh. Tiang pondok kehilangan kendali. Pondok berguncang. Kayu penyangga patah. Bahkan tidak segan-segan merobohkan diri. Anak-anak berhamburan dan berteriak. Ahh...

Pondok roboh. Tidak bersisa. Untungnya tidak ada yang luka. Sesaat, setelah Landai berhasil mendorong satu-persatu temanya keluar dari pondok. Meskipun Ia harus pasang badan terkena potongan kayu berukuran sedang yang menghantam punggungnya.

Kata Landai potongan kayu itu tidak ada apa-apanya. Dulu karena kenakalannya ia sempat disengat madu Pelawan yang rasanya berkali-kali lipat. Itu katanya.

Anak-anak pucat. Orang-orang sekitar segera menghampiri dan berusaha menenangkan. Pancar terlihat paling pucat saat itu. Bagaimana tidak dia lah yang pertama kali menyaksikan ular itu melata di bawah pondok. Bahkan sedikit lagi anak ular itu akan menghantam kulit Pancar.

“Keterlaluan kamu Landai. Ini bukan main-main lagi. Kamu membahayakan teman-temanmu sendiri. Biar ibu beri tahu bapakmu!” Seorang wanita berperawakan seram langsung mengintimidasi kesalahan Landai.

Ayuk Mar memberi air gula untuk mengurangi rasa takut dan trauma Pancar dan teman-temannya. Ayuk Mar yang saat itu bingung kenapa pondok bisa roboh langsung menghampiri Landai yang dari tadi hanya melempar satu demi satu buah karet yang tersisa ke tujuh sumur yang berbeda.

“Awas nanti ke cebur!” Kata Ayuk Mar.

Dak ape yuk[3]. Aku malah  penasaran isi tujuh sumur ni,” Landai selalu punya jawaban yang nyeleneh setiap ditanya.

“Isi sumur ini banyak. Semut, ular bahkan biawak. Landai...Landai kenapa bisa pondok ini roboh? Bukannya kamu tahu ini pondok nelayan. Dan lihat teman-temanmu mereka ketakutan dan menangis.”

“Landai tidak sengaja yuk. Cuma main-main.”

“Main dengan ular, maksudmu.” Ayuk Mar memotong.

Landai menjelaskan panjang lebar. Ia tidak menyangka pondok itu akan roboh hanya karena kejahilannya. Landai juga khawatir bilamana ayahnya sampai tahu kalau pondok hasil bahu-membahu para nelayan itu roboh.

Sejak awal Landai memang telah dilarang ayahnya pergi ke pondok. Apalagi hanya sekadar bermain. Landai dipaksa sekolah. Namun hari itu berani membolos karena tahu ayahnya akan pulang dua hari lagi. Ayuk Mar mendengarkan penjelasan Landai. Ayuk Mar juga bingung kenapa Landai seberani itu.

“Lalu ular itu sekarang dimana?” Tanya Ayuk Mar

“Tidak tahu. Mungkin di lalang sana. Landai hanya suka ular itu yuk. Unik. Tubuhnya Kecil. Warnanya kuning-hitam, harusnya teman-teman bisa melihat kecantikan ular itu yuk

Bungarus Fasciatus. Orang Jawa menyebutnya Welang. Kingdom Animalia. Famili Elapidae. Sebarannya memang beberapa di daerah pantai. Ular ini bahaya dan bisanya mematikan. Tapi untung ini siang hari. Setidaknya ular itu tidak akan berbahaya, karena ular itu nokturnal: aktif di malam hari.” Ayuk Mar menjelaskan hampir tanpa jeda.

Landai seketika takjub. Ia berhenti melempari buah-buah karet ke dalam sumur tujuh. Bukankah Ayuk Mar tidak ada saat ular itu ditanganku. Lalu dari mana Ayuk Mar tahu segalanya. Begitu pikir Landai. Namun pikiran itu seolah hilang  dan tergantikan dengan kekhawatiran Landai terhadap sikap bapaknya nanti.

 

***

“Kenapa pondok itu bisa roboh, Landai? Bapak sudah bilang jangan lagi kau ke pondok itu. Itu bukan tempat kau. Tempat kau itu sekolah. Kau memang tidak pernah mendengarkan semua perkataan bapak. Kalau kau mau itu, sudah biar kau yang kerja di laut. Apa kau mau seperti bapak? Kumuh dan tidak berpendidikan?”  Bapak yang baru tiba langsung menghardik Landai.

Landai sama sekali tidak menyangka bapaknya akan semarah itu. Landai hanya diam. Ia tidak berani berkata sedikit pun di saat-saat seperti ini.

“Harusnya kau sekolah agar bisa seperti anak Pak Yas. Bukan malah bolos ketika bapak tidak ada. Kau tahu anak  Pak Yas yang berkerja di Kalimantan. Gajinya puluhan juta. Bapaknya tak perlu ke laut lagi,” ujar bapak dengan lugas.

“Sebenarnya dari awal Landai memang tak ingin sekolah pak. Orang pesisir seperti kita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Pulau kita ini kaya. Lalu siapa yang akan memajukan pulau ini kalau semua orang pintar ujung-ujungnya harus merantau ke pulau orang. Kalau Pancar sekolah, pancar akan bekerja di perusahaan-perusahaan besar di ibu kota. Landai tidak ingin meninggalkan pulau ini. Tanah kelahiranku. Pulau yang penuh kenangan dengan ibu. Pulau ini istimewa pak.”

Landai tidak percaya, ia bisa bicara seperti itu. Bapak diam. Landai hanya mengeluarkan segala yang terasa sesak di dadanya.

“Bapak, kakek, kakek-kakek sebelumnya semua nelayan. Namun bukan berarti itu takdir kita. Bapak dan  Almarhumah Ibu bersikeras meminta kau sekolah karena laut itu berbahaya. Almarhumah Ibu ingin melihat kau pakai seragam. Polisi, guru, tentara bahkan pengusaha.  Dan yang perlu kau tahu,  tidak semua anak pesisir harus menjadi nelayan,” bapak menurunkan nada bicaranya.

Landai diam. Bapak memukulnya lewat kata. Sakit. Kata-kata yang keluar dari mulut bapaknya tidak bisa terbantahkan. Rasa bersalah menguap begitu saja.

Rasanya ia ingin menarik segala yang telah diucapkan pada bapaknya tadi. Tidak sepantasnya ia mengatakan semua itu pada bapaknya. Apalagi bapak harus membawa Almarhumah ibu.

Sejak malam itu Landai hanya berdiam di kamar. Ia hanya meratapi semua penyesalannya.  Termasuk menatap foto mendiang ibunya.  

***

“Landai sudah liat batu tu[4]. Batu dak[5] kan berubah kalau ka[6] liat terus,” Kedatangan Pancar dan teman-teman sontak membuat Landai terkejut.

“Kalian kesini? kalian tidak marah.”

“Sudah..sudah.. ayo cepat ikut kami”

Landai yang duduk di beranda mengamati batu kerikil, terkejut ketika Pancar dan teman-teman menariknya. Arah mereka ke Pantai Sumur Tujuh.

Landai sama sekali tidak bicara. Ia hanya bingung kenapa diajak ke Pantai Sumur Tujuh.  Bukankah tempat bermain mereka telah roboh? Bahkan tidak tersisa. Pondok itu seharusnya masih ada kalau Landai bisa berpikir sebelum bertindak.

“Ayo.. Landai.. cepat!”

Landai persis berada di pondok. Maksudnya pondok yang sekarang roboh dengan puing-puing yang sekarang berjatuhan ditanah. Ia mencoba menahan tangis. Pancar malah menarik kuat tangan Landai menjauhi “bekas pondok”. Sekarang mereka tepat berada di depan sebuah pohon besar.

“Liat ke atas!” Pancar memaksa Landai.

“Hah! Pondok Landai?” Landai setengah terkejut membaca papan nama.

“Iya, nama pondok ini landai. Sesuai dengan nama orang yang menghancurkan pondok sebelumnya. Ini pondok dibuat hasil sumbangan Bang Fahri, anak Pak Yas yang sekarang kerja di Kalimantan. Katanya pondok ini khusus dibangun untuk pondok belajar. Ada buku, alat tulis, dan guru,” ujar Bapak Landai lugas.

“Guru?”

“Iya. Guru. Ayuk Mar ini yang jadi gurunya. Seorang sarjana pendidikan yang akan mendidik anak-anak pesisir di Pondok Landai.”

Landai tidak menyangka Ayuk Mar seorang guru. Pantas ia kenal ular itu. Dan Bang Fahri ternyata tidak pernah lupa pulaunya.  Tak salah bapak memaksa agar Landai sekolah. Ternyata agar seperti dua orang hebat ini. Sesaat setalah mendengar penjelasan bapaknya, Landai mulai mendekati bapaknya dan memeluknya erat.

“Bapak, Landai minta maaf.  Landai ingin sekolah supaya bisa mengabdi di Pulau ini. Landai janji  “Pondok Landai” ini bukan hanya jadi tempat bermain karena ini akan jadi saksi si bocah landai mengejar mimpi,” ujar Landai dengan sepenuh hati.

 



[1] Wah, kamu curang ya!

[2] Mengetuk

[3] Tidak apa-apa kak

[4] Itu

[5] Tidak

[6] Kamu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Etika dalam Menyimak

"Malu bertanya sesat di jalan”   sadar atau pun tidak ungkapan ini telah banyak mempengaruhi pemikiran masyarakat saat ini. Bertanya se...