Selasa, 19 Mei 2020

Hidup di Tengah Budaya

Binar-binar kecerahan mentari semakin redup. Penduduk lalu lalang menyeberangi jalan setapak berwarna cokelat pekat. Aktivitas semakin lengang, para bapak paru baya susul-menyusul menuju hunian dengan gaya Melayu klasik.

Berbeda dengan para bapak, kaum wanita lebih tertarik dengan suasana petang. Roman antusias akan tampak di wajah mereka saat wadah berisi pakaian-pakaian diletakkan di atas kepala. Sungai bening dengan arus yang tenang menjadi incaran mereka. Sesekali menyerobot satu sama lain demi mendapat papan cucian yang sengaja dipasang melekat dalam air oleh masyarakat setempat.

Sama halnya dengan kaum wanita lain, kaki lincah Lastri sangat cekatan menuruni setiap anak tangga rumah yang berpondasi kayu pelawan itu. Baru ingin melangkah, bapaknya langsung mencegat.

“Ke mana Lastri?” Pertanyaan bapak membuat Lastri merasa diinterogasi.

“Sungai pak,” jawab Lastri tidak bersemangat.

Lastri beranjak dengan junjungan diletakkan diatas kepala berisi pakaian-pakaian kotor menuju sungai yang tidak jauh dari pantai.

 “Cucian hari ini lumayan banyak Lastri?”

 “Iya Siska, sebenarnya aku terlalu malas hari ini untuk mencuci pakaian sebanyak ini?” timpal  Lastri kepada teman sebayanya itu.

Semua pekerjaan rumah dibebankan kepada Lastri, sebab mak Lastri harus bekerja di pabrik kemplang demikian pula bapaknya yang harus menyadap madu di Hutan Pelawan.

Pada awalnya Lastri sangat menikmati pekerjaan yang dibebankan kepadanya itu. Namun belakangan ini Lastri mulai jenuh. Mengingat ia sangat merasa kesepian saat berada di rumah sendiri jika bapak dan maknya bekerja.

Kakak satu-satunya yang dimiliki Lastri pun memilih bekerja di pertambangan timah di sebelah selatan Pulau Bangka. Keduanya sangat jarang bersua meskipun hanya perlu lebih kurang dua jam untuk mereka saling berjumpa. Inilah yang membuat Lastri merasa kesepian, ditambah mak dan bapaknya harus pergi sangat pagi dan pulang ketika petang.

Lastri beranjak pulang ke rumah ketika pakaian-pakaian yang dibawanya tadi telah bersih. Perjalanan dihiasi pepohonan pelawan yang gagah membuat Lastri sedikit lega dan kembali ceria.

***

Serambi bagian kanan rumah bergaya Melayu klasik menyajikan suasana yang berbeda. Mak dan Bapak Lastri bercengkerama ringan sambil mengumbar tawa satu sama lain. Kesibukan masing-masing membuat keduanya sangat jarang menikmati waktu bersama.

Azan magrib berkumandang dari masjid yang letaknya di tengah kampung. Lastri masih saja fokus pada layar televisi peninggalan mendiang kakeknya. Mak dan bapaknya telah bersiap melaksanakan salat magrib berjamaah.

“Lastri mari siap-siap salat berjamaah!” Ajak mak yang telah mengenakan mukena serba putih.

“Sebentar mak, sinetronnya belum selesai,” Lastri masih sibuk dengan tayangan kesayangannya itu.

“Lastri.. !” Bapak seolah mengisyaratkan Lastri dengan pandangan tajam.

“I..Iya  pak,” Lastri mengangguk pelan.

Ketiganya melaksanakan salat berjamaah dengan khusyuk. Meskipun sering berselisih paham nyatanya keluarga ini adalah keluarga yang peduli satu sama lain. Hanya saja waktu yang membuat mereka sangat jarang bertukar pikiran satu sama lain.  Terlebih lagi mak yang seharusnya tinggal di rumah, harus ikut bekerja. Tidak jarang mak harus lembur dan menyerahkan tugas rumah sepenuhnya kepada Lastri.

Namun malam itu berbeda sekali, mak terlihat menyiapkan makanan dari dapur. Lastri ikut membantu mak menyiapkan lempah kuning. Lempah kuning memang makanan wajib keluarga Lastri.

 Hampir setiap hari Lastri menyiapkan lempah kuning untuk mak dan bapaknya sebelum ia berangkat sekolah. Bedanya, lempah kuning malam itu spesial disiapkan mak.

“Sudah mak kalau urusan masak-memasak serahkan semua kepada Lastri saja mak!” Lastri sedikit menggoda maknya yang sedikit kewalahan.

“Mak menyiapkan ini semua sebab sebentar lagi Mang Bujang dan Bik Dayang akan datang berkunjung,” mak menjelaskan.

Lastri dan maknya tidak berhenti menebar senyuman. Mereka terlihat menikmati kebersamaan yang sudah jarang terjadi. Sesekali Lastri memandangi maknya.

Kedatangan Amang Bujang yang mengenakan setelan batik cual dengan kopiah khas Bangka Belitung, songkok resam terlihat berbeda. Amang Bujang dan Bik Dayang telah pindah sejak Amang Bujang bekerja di perusahaan timah terbesar di Bangka Belitung.

 Bapak sangat terkesima dengan adik bungsunya itu. Penampilannya jauh berbeda sejak hijrah ke ibukota provinsi. Bapak menampilkan wajah penyesalan karena tidak mengikuti jejak Amang Bujang. Padahal jika bapak bekerja di perusahaan itu mungkin kehidupan keluarganya tidak sesulit ini.

“Sukses sekarang kamu Jang!” Suara bapak lugas.

“Alhamdulillah bang, seharusnya  abang mengikuti jejakku dari dulu!” Mang Bujang sedikit menggoda.

“Ayo Jang makan dulu, nanti kita lanjutkan lagi ceritanya!” Bapak langsung mengisyaratkan amang dan bik menikmati masakan yang telah disiapkan mak dan Lastri.

Malam semakin menyapa. Setelah perbincangan hangat disuguhi dengan makanan dari rempah-rempah itu Amang Bujang dan Bik Dayang segera berpamitan. Bapak menyayangkan keduanya tidak menginap satu dua hari di sini.

Tetapi begitulah Amang Bujang tidak pernah sedikit pun ingin menyusahkan orang lain. Mak memberi sebotol madu murni sebagai tanda terima kasih telah berkunjung sekaligus buah tangan khas hutan pelawan.

Suara ketukan menuruni anak tangga itu pertanda pintu tua itu harus ditutup. Air terasa lebih tajam menghantam kulit. Lastri menyegerakan berwudu sebelum beranjak ke kamar yang didominasi putih.

Bapak dan mak telah menanti di atas sejadah kelabu. Lastri mempercepat langkahnya. Ketiganya salat isya berjamaah dengan hikmat. Usai salat, ketiganya bersegera merebahkan tubuh di kasur kapuk yang tak jelas rupanya.

***

Langit oranye menampak lembut dari arah timur. Bapak menyiapkan peralatan menyadap madu di hutan pelawan. Mak beranjak menuju pabrik kemplang sebab jarak yang ditempuh mak menuju pabrik tidaklah dekat.

Sementara itu Lastri bersiap menuju sekolah.  Suasana rumah sepi dan kosong melompong. Bapak dan mak akan kembali ke rumah saat petang, jadi semua urusan rumah berada ditangan Lastri. Sebenarnya mak tidak pernah memaksa Lastri mengerjakan semua urusan rumah, hanya saja Lastri tidak tega jika mak harus mengerjakan urusan rumah ditambah harus bekerja di pabrik.

Gerbang berwarna hitam pekat menyambut Lastri. Remaja-remaja berseragam rapi berjalan ke arah tujuan masing-masing. Langkah Lastri tertuju pada ruang kelas yang berjejer kursi kayu di depannya. Riuh dari ruang itu sangat terasa. Lastri menyegerakan langkahnya.

“Kenapa pada ribut?” Lastri meletakkan tas merahnya di meja.

“Katanya kita akan pulang lebih awal,” celetuk gadis berjilbab dengan sebuah bros bunga melekat di salah satu sisinya.

“Kenapa? Tumben,” Lastri menjawab datar.

“Siang ini ada acara nganggung di masjid,” Rara menjelaskan dengan suara lemah lembut.

“Biasanya yang nganggung kan cuman laki-laki?”

“Iya Lastri, kita yang perempuan membantu menyiapkan keperluan Nganggung saja.”

“Dengar itu Lastri perempuan itu tugasnya menyiapkan makanannya saja. Jangan sampai kamu menjadi perempuan satu-satunya jika kamu datang ke masjid sore ini!” Bobby menimpali dengan raut sedikit menggoda

“Iya Bob tidak perlu diingatkan pun aku juga tahu, tidak mungkin aku datang. Aku ini kan perempuan tulen,” jawab Lastri dengan sedikit mengangkat dagunya.

Suara dengung bel panjang menarik perhatian siswa siswi. Semua riuh mengendong tas masing-masing. Lastri kembali melewati gerbang berwarna hitam pekat dengan sapaan ramah pak satpam di salah satu sisi gerbang.

Bersama teman sebayanya Lastri mengumbar senyum melewati kerumunan pedagang kaki lima berderet di depan sekolah.  Lastri berinisiatif menuju pabrik kemplang sebelum pulang ke rumah. Hanya perlu sekitar lima belas menit Lastri tiba di pabrik yang didominasi ibu-ibu berusia tiga puluh tahun ke atas itu.

“Assalamualaikum”

“Wallaaikumsalam”

“Lastri tidak sekolah?” Salah seorang ibu langsung mencerca Lastri dengan pertanyaan.

“Sekolah bik, Lastri hari ini memang pulang lebih awal. Soalnya hari ini ada acara nganggung.”

“Nganggung? Astagfirullah mak lupa Lastri.” Mak muncul dengan raut terkejut.

“Lupa apa mak?” Lastri langsung mencium telapak tangan ibunya.

“Mak belum menyiapkan apa-apa untuk nganggung hari ini Lastri.”

“Tidak apa mak. Lastri bisa kok menyiapkannya!”

“Iya Lastri tetapi masalahnya mak juga belum sempat mengingatkan bapak. Kamu tahu sendiri kan kalau bapak tidak diingatkan pasti bapak juga lupa.”

Wajah Lastri terlihat gusar. Mak dan Lastri sesekali memandang satu sama lain. Hanya dengan memandang wajah maknya Lastri seperti dapat menebak yang akan dikatakan maknya.

“Jadi bagaimana mak?”

“M..m.. bagaimana kalau kamu saja Lastri!”

“Lastri mak? bukannya di acara nganggung biasanya semua laki-laki?”

Mak menggeleng pelan. Lastri paham aba-aba itu. Ia tidak berani sedikit pun menolak. Lastri beranjak pamit menyiapkan persiapan nganggung. Tiba di rumah, Lastri bergegas menuju dapur hendak menanak nasi dan lauk pauk.

Tidak kalah penting Lastri mencari dulang dan tutup berbentuk setengah lingkaran yang didominasi merah untuk meletakkan bawaannya nanti. Padahal seragam yang melekat pada tubuh kurusnya itu belum sempat ia diganti. Anak bungsu dari dua bersaudara itu tampak mondar-mandir kewalahan.

Hidangan racikan Lastri siap. Begitu pun dengan Lastri sendiri terlihat anggun dengan balutan baju muslimah  lengkap dengan jilbab berwarna merah muda. Ia masih tampak modar mandir tidak keruan.

Ia hanya berharap jika bapaknya tiba-tiba pulang sehingga ia tidak perlu menggantikan bapaknya untuk nganggung di masjid, atau mungkin jika saja Lastri bisa berubah menjadi seorang lelaki sampai acara nganggung berakhir.

Lastri tidak punya pilihan lain. Mau tidak mau, suka tidak suka ia harus segera menuju masjid di pertengahan kampung dengan dulang yang telah berisi masakan khas Negeri Selawang Segantang.

Perjalanan menuju masjid terasa lebih cepat. Lastri sedari tadi menunduk tidak tampak jelas apa yang dipandanginya. Selama di perjalanan  hanya  bapak-bapak dan laki-laki seumurnya yang tampak pada padangan bola mata Lastri. Semakin Lastri memperlambat langkahnya semakin cepat pula kakinya memasuki pekarangan masjid.

“Assalamualaikum,” Lastri mengucap salam kepada Amang-amang yang berdiri di teras dengan nada yang tidak biasanya.

“Wallaaikumsalam, Lastri, kenapa kamu yang datang memangnya bapak kamu ke mana?”

“Bapak masih di hutan pelawan mang, soalnya bapak lupa kalau hari ini ada acara nganggung,” Lastri masih saja menunduk.

“Belum sembuh juga rupanya penyakit lupa bapak mu itu Lastri,” sebagian dari amang- amang tertawa.

Lastri memilih masuk ke surau daripada menjawab setiap cercaan pertanyaan seperti seorang narasumber yang memiliki berbagi info yang aktual.

“Eh Lastri, katanya perempuan tulen!” Bobby tidak pernah bosan menggoda Lastri.

Lastri hanya diam saja mendengar celoteh Bobby yang dirasanya selalu menyakitkan hati. Tingkah pola Lastri semakin tidak karuan. Pipinya kemerahan. Bola matanya tidak berhenti memandangi setiap orang, berharap ada satu dua perempuan di sini.

Tidak ada pilihan lain ia duduk di saf perempuan dengan kain panjang sebagai pemisah. Acara nganggung memang identik dengan laki-laki. Jika pun ada perempuan itu pasti anak kecil yang merengek ingin ikut nganggung bersama bapaknya.

Acara nganggung acap kali dibarengi dengan acara dakwah. Inti sari nganggung sebenarnya rasa kebersamaan. Orang-orang akan duduk berbanjar dan berhadapan satu sama lain.

Dulang-dulang berisi hidangan tradisional akan disusun ditengah-tengah. Selanjutnya akan disantap bersama. Acara sama sekali belum dimulai tetapi Lastri memilih beranjak pulang setelah meletakan hidangan yang disiapkannya dengan terburu-buru.

“Loh Lastri mau ke mana? kenapa terburu-buru begitu?” Tanya Bobby dengan santai meskipun Lastri menganggap itu adalah pertanyaan ledekan.

“Pulang.” Ketus Lastri dengan langkah terburu- buru.

Derap langkah Lastri semakin gusar. Perasaannya semakin tidak karuan. Perjalanan menuju rumah terasa lebih lama dari aslinya. Ketika tiba di rumah ia terkejut sebab pintu tua nan kokoh itu terbuka lebar. Gadis yang tidak terlalu fasih bahasa Indonesia itu pun mempercepat langkahnya.

“Abang Udin!” Lastri terkejut dengan keberadaan abangnya.

“Assalamualaikum Lastri.”

“Kenapa abang ada di sini?” Padangan Lastri masih terfokus pada lelaki yang terlihat lebih kurus itu.

“Jawab dulu salamnya Lastri! jadi abang kesini karena abang dengar ada acara nganggung hari ini. Jadi abang mengusahakan untuk pulang. Sudah rindu abang suasana nganggung di desa ini. Memangnya kamu tidak senang jika abang pulang?” Abang Udin tidak berhenti menjelaskan.

“Abang......” Wajah Lastri tampak kesal.

“Jadi  kamu memang tidak senang jika abang pulang?” Raut kebingungan masih tidak berhenti menghiasi wajah Abang Udin.

“Kenapa abang tidak datang dari tadi?” Kekesalan Lastri semakin memuncak.

Lastri bergumam dalam hati, “Jika saja Abang Udin datang lebih awal mungkin aku tidak akan malu seperti tadi dan pastinya tidak mendengar celoteh Bobby yang menyakitkan itu.”

“M...mm....” Abang Udin tidak berhenti memancarkan raut wajah tak paham.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Etika dalam Menyimak

"Malu bertanya sesat di jalan”   sadar atau pun tidak ungkapan ini telah banyak mempengaruhi pemikiran masyarakat saat ini. Bertanya se...