Selasa, 19 Mei 2020

Bertukar Peran Menjajal Perbedaan

Menelusuri lorong persimpangan jalan ini membuatku kembali risau. Mengingat dimana aku menjatuhkan sebuah pemberian berharga dari seseorang.

 Aku tidak merasa sengatan cahaya matahari menyapu wajahku. Hanya saja wajahku tampak basah oleh aliran air dari bagian kepala.

Aku mencoba berbicara dengan memori yang merekam kejadian beberapa waktu lalu. Saat kakiku melintasi dengan gagahnya lorong persimpangan jalan amat sempit, yang hanya dapat dilewati sepasang manusia kurus kering.

Aku ingat betul saat melintasi jalan yang sama persis seperti yang aku pijak sekarang, aku menggenggam sebuah kotak dominan putih beraksen emas yang sekarang lupa dimana aku jatuhkan.

“Kamu mencari ini? aku melihatnya tergeletak di depan kedai di ujung jalan,” seorang perempuan sebayaku memegang erat sebuah kotak.

“Benar sekali, aku telah menginjak tempat ini lebih dari tujuh kali tetapi tidak menemukannya. Terima kasih banyak kamu telah menemukan kotak ini”

Pertama menatapnya aku sama sekali enggan berpaling. Parasnya tidak perlu aku jelaskan. Seperti keturunan Tionghoa kebanyakan. Kulitnya cerah dan terawat. Tuturnya ramah mencerminkan kepribadian orang Jawa.

Gadis blasteran Jawa Tionghoa ini memancarkan kharisma yang luar biasa. Kharisma yang enggan meresapi jiwa sepertiku. Jiwa yang selalu menganggap perempuan harus bertutur lugas agar tidak tertindas.

“Jadi siapa namamu?” Aku sontak bertanya.

Ia melonjak terkejut. Pandangan yang awalnya menatap serangkaian bunga kenanga di sepanjang jalan langsung terfokus kepadaku. Aku tersipu malu menanggapi ekspresinya. Aku sedikit merasa bersalah. Apa suaraku terlalu keras? hingga perempuan itu terkejut sedemikian terkejutnya.

“Patricia Sri Rahayu,” jawabnya lembut dan kembali menebar senyum.

Kesan awal mendengar namanya yang merupakan gabungan ciri khas dua budaya membuatku semakin takjub kepada perempuan ini. Orang tuanya begitu pandai memberi nama. Hingga apa pun gerak-gerik tubuhnya sangat sesuai dengan namanya.

“Aku Butet.” Aku lebih tertarik memperkenalkan diriku sendiri tanpa diminta daripada harus menunggu si gadis pemalu ini menanyakan namaku.

Ia kembali tersenyum. Aku sedikit kesal. Apakah hakikat perempuan harus selalu tersenyum saat mendengar orang lain berbicara?

“Bagus sekali namamu Butet! sangat sesuai dengan kepribadian perempuan seperti mu. Seorang perempuan yang berani dan tegas,” ternyata sekarang aku yang balik tersenyum, mendengar sebuah ucapan pujian dari perempuan itu.

Perbincangan kami masih sama. Hanya aku yang tampak antusias melanjutkan pembicaraan ini. Mungkin Sri tidak terlalu menikmati pembicaraan basa-basi ini.

Sri, ia memaksaku memanggilnya dengan panggilan Sri, saja. Sri kembali menunjukkan raut yang sangat mudah aku tebak. Ia ingin mengakhiri pembicaraan ini. Namun ia takut menyinggung perasaanku.

“Sri mari kita pulang! sudah siang sekali,” kembali aku mendahulukan keinginan Sri.

“Kenapa buru-buru sekali?” Aku sekarang yang terkejut, bukankah ia yang menunjukkan raut ingin mengakhiri pembicaraan ini. Sudahlah perempuan memang sulit ditebak.

Setelah pertemuanku dengan Sri, aku kembali yakin Sri adalah pribadi perempuan sesungguhnya. Perempuan cerdas yang amat tidak tertarik dengan pembicaraan basa-basi. Sebuah basa-basi malah membuatnya yakin bahwa, masih ada orang yang tidak jujur di dunia ini. Tidak ingin berbicara namun memaksa berbicara.

***

“Maaf kak, saya terlambat,” refleks kepalaku tertunduk.

Jujur saja aku masih takut untuk kembali ke sanggar. Setelah Kak Radith amat marah kepadaku kemarin. Rasanya untuk menginjak setiap ubin abu-abu ini, membuatku kembali mengingat bagaimana raut kemarahan kak Radith kepadaku.

 Kemarahan Kak Radith bukan tanpa sebab. Usai memberiku kepercayaan untuk menyimpan sebuah kotak, yang aku pun tidak tahu apa isinya tiba-tiba aku menghilangkannya begitu saja.

Aku mengarah pada ransel merah jambu kesayanganku. Mengeluarkan kotak dominan putih beraksen emas. Meskipun Kak Radith tidak begitu tertarik menatapku, aku berusaha menemuinya.

“Kak, ini kotaknya! Maafkan kemarin Butet tidak sengaja menghilangkannya. Kemarin Butet berusaha menelusuri setiap jalan yang Butet lewati dan akhirnya bisa menemukan kotak ini kembali. Semoga isinya masih baik-baik saja!” Aku masih sangat merasa bersalah.

“Iya. kakak pun ingin minta maaf. Seharusnya kakak tidak terlalu berlebihan seperti itu.”

“Tidak apa-apa kak, Butet yakin kakak seperti itu pasti ada alasannya.”

“Kakak hanya ingin kalian lebih bertanggungjawab ketika diamanatkan sebuah kepercayaan.”

Aku benar-benar merasa tidak enak hati kepada Kak Radith. Untunglah ia bisa menerima permintaan maafku dan berharap aku tidak mengulangi kejadian semacam itu lagi.

***

Pada umumnya sebuah sanggar seni hanya menampilkan satu bidang seni, hal ini justru berbanding terbalik dengan Sanggar Rengas. Sanggar Rengas memberi kebebasan semua anggota sanggar memilih bidang yang mereka minati. Bagi yang berpostur lemah gemulai akan diarahkan pada kesenian tari. Sedangkan, para seniman kuas diarahkan pada seni lukis. Demikian pula untuk orang Sumatra sepertiku yang identik dengan suara yang lugas akan diarahkan pada seni olah suara.

Aku, Elisa, dan Loni selaku penanggung jawab masing-masing bidang seni diminta menghadap Kak Radith.

“Sengaja kakak mengumpulkan kalian di sini ingin memberitahukan bahwa Sanggar Rengas akan berkolaborasi dengan Sanggar Serunai di pementasan terbesar se-Asia Tenggara. Kakak memilih kalian karena kakak yakin kalian adalah orang-orang yang siap untuk ditempatkan di posisi apa saja.”

“Maksud kakak posisi apa saja?”

“Kalian mungkin tidak akan menampilkan penampilan sesuai bidang yang kalian geluti selama ini.”

Sembari mencerna makna tersirat dari perkataan Kak Radith, seorang bersetelan kemeja rapi memasuki ruangan Kak Radith. Keduanya tampak akrab seperti telah lama mengenal. Merasa keberadaan kami akan mengganggu, Aku, Elisa, dan Loni memutuskan keluar dari ruangan dengan persetujuan Kak Radith.

“Butet!” Terdengar suara lembut anak perempuan.

“Eh, kamu Sri! Kenapa kamu berada di sini, bersama siapa kamu di sini?”

“Aku bersama kedua teman dan pelatihku yang telah masuk terlebih dahulu ke ruangan sana!” Sri menjelaskan sambil menunjuk ruangan Kak Radith.

“Kalian dari sanggar Serunai?

Kembali Sri hanya mengangguk dan senyum. Tingkahnya masih sama, sangat sungkan mengeluarkan kata, kecuali sangat penting dan sesuai kemauan hatinya.

***

Berlama-lama menduduki kursi  panjang ini, memberiku bisikan bahwa menunggu adalah hal yang tidak diminati semua orang.

Sama halnya dengan lima perempuan ini, wajah-wajah penuh kebosanan. Namun, manusia tetaplah manusia, tidak ingin menunggu tetapi sering sekali minta ditunggu.

Tidak lama usai mengutuk diri sendiri akan lelahnya menunggu sebuah kepastian. Kak Radith dan kakak yang belum sempat aku tanyakan namanya hadir dalam barisan kami. Keduanya menginstruksikan untuk membentuk barisan menyerupai lingkaran.

“Baiklah untuk enam orang yang ada di sini, kakak sudah memegang kotak yang isinya akan menentukan posisi kalian pada pementasan nanti. Untuk itu kakak sangat marah sekali saat kotak ini hilang. Kotak ini telah kakak persiapkan untuk menentukan posisi-posisi kalian.”

“Bukankah itu kotak kemarin Butet?” Sri langsung bereaksi seketika melihat kotak itu.

“Iya Sri, itu kotak yang kemarin. Jadi sebenarnya Sri yang telah menemukan kotak ini kemarin kak.”

“Wah, terima kasih Sri. Berkat kamu kotak ini kembali lagi. Kakak juga berharap kalian semua bisa bekerja sama dengan baik dalam menampilkan pementasan yang memukau.”

“Radith, lebih baik kotaknya dibuka sekarang dan bebaskan mereka memilih gulungan kertas yang akan menentukan berada di posisi apa mereka.” Akhirnya kakak tersebut buka suara setelah suara Kak Radith yang selalu mendominasi.

Setiap dari kami memilih gulungan kertas yang terdapat di dalam kotak. Rasanya kesabaran kami kembali diuji ketika harus menunggu giliran membuka gulungan kertas ini dan membacanya lekat-lekat.

“Seni Tari,” Loni membuka gulungan kertasnya.

Empat gulungan kertas telah terbuka. Tulisan yang tertera pada masing-masing kertas masih sama, seni tari. Sedangkan masih dua gulungan kertas yang tersisa. Milikku dan Sri.

“Tertulis olah suara, membacanya membuatku senang bukan main. Ini adalah bidang yang selama ini aku geluti. Mungkin aku akan menjadi seorang pemandu acara.”

Dari sudut lain terdengar kesenangan yang tidak kalahnya. Sri pun mendapat seni olah suara, sangat sesuai dengan kelas yang ia ambil di Sanggar Serunai, yaitu menyinden. Kami semua telah membuka gulungan kertas masing-masing.

“Kakak akan menjelaskan perihal seni olah suara, di sini ada dua seni olah suara yang akan ditampilkan yaitu, menyinden dan memandu acara. Agar lebih adil untuk Butet dan Sri dapat memilih gulungan kertas kembali untuk menentukan seni olah suara apa yang akan kalian tampilkan.”

Saat mendapat gulungan kertas, aku sangat yakin aku akan menjadi pemandu acara sedangkan Sri pun memiliki keyakinan yang sama.

Setelah membuka gulungan kertas ternyata hasil pun tidak berkhianat. Persis seperti yang kami inginkan. Kami pun sontak berpelukan.

“Maaf Kak Radith, saya rasa ini tidak adil. Kami berempat harus mendapatkan seni di luar zona aman kami, sedangkan Sri dan Butet malah kebalikannya.” Loni mengutarakan keberatannya.

“Saya rasa benar Radith kata anak didik mu itu, ini adalah pementasan yang luar biasa, kita harus menampilkan penampilan yang berbeda dan luar biasa” Pria berkemeja rapi sekarang berargumen.

“Benar katamu bung, saya pun yakin semua yang ada di sini adalah orang-orang terpilih dan siap ditempatkan di posisi apa saja. Menyinden atau memandu acara pun sama-sama mengandalkan suara. Saya yakin Butet dan Sri siap.”

Aku dan Sri melonjak terkejut. Apa mungkin orang sepertiku, bisa menjadi seorang sinden yang lemah gemulai? Entah lah, aku pun yakin Sri berpikiran yang sama. Selama aku mengenalnya, Sri sosok yang pemalu dan mungkin akan kesulitan menarik perhatian audiensi.

“Bagaimana ini Butet, aku tidak bisa memandu acara? Kenapa bukan aku saja yang menyinden? Kenapa pula kita harus bertukar peran?”

“Aku juga tidak ingin Sri, aku sama sekali tidak memiliki latar belakang menyinden. Semua anggota keluargaku memiliki suara yang lantang, mana mungkin bisa menyinden. Tetapi mau bagaimana lagi?”

“Kalau masalah itu kamu tenang saja, kamu dapat berlatih dengan ibuku. Ibuku sewaktu muda adalah pesinden terkenal. Jadi kamu tidak perlu khawatir dengan hal itu.”

Entah mengapa sekarang aku terlihat seperti Sri yang selalu mengumbar senyum.

“Terima kasih Sri. Kamu pun tidak perlu khawatir. Kakak perempuanku seorang pemandu acara yang sering didaulat dalam acara besar. Aku yakin kamu pasti akan cepat mahir jika berlatih kepadanya. Dijamin kamu akan lebih berani dan percaya diri saat berada di atas panggung.”

***

Rasanya untuk orang yang tidak siap seperti kami, waktu pelaksanaan pementasan ini sangat cepat sekali. Sekali pun usaha dan doa tidak henti-hentinya ter curahkan sebelum pementasan. Aku dan Sri banyak belajar dengan keadaan ini. 

Belajar memaknai perbedaan kemahiran yang kami miliki. Untuk Sri yang keturunan Jawa mungkin menyinden bukan perkara yang sulit. Sebaliknya pun begitu, untuk orang Sumatra sepertiku yang memiliki suara yang lugas akan lebih mudah untuk memandu sebuah acara. Namun nyatanya kami harus bertukar peran dalam pementasan ini.

“Baik semuanya ini waktunya menampilkan penampilan terbaik kalian. Kakak yakin kalian tidak akan mengecewakan kakak.”

Cepat sekali rasanya waktu berjalan, ketika suara lembut Sri yang selama ini aku dengar, tiba-tiba menjadi lantang saat mempertontonkan kemampuannya memandu acara. Aku pun sama, aku mulai mengalunkan setiap syair dengan penuh penjiwaan.

Sembari memaknai setiap kata yang aku suarakan. Sedang empat penari wanita dengan gemulainya menampilkan tarian modern yang dikombinasi dengan tarian tradisional yang memukau para penonton.

Sorak-sorai penonton membuat kami merasa puas dan bahagia dapat menampilkan penampilan yang dapat membius para penonton. Teruntuk aku dan Sri, kami pun amat bahagia dapat bertukar peran sekaligus menjajal perbedaan yang kami miliki selama ini.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Etika dalam Menyimak

"Malu bertanya sesat di jalan”   sadar atau pun tidak ungkapan ini telah banyak mempengaruhi pemikiran masyarakat saat ini. Bertanya se...