Selasa, 19 Mei 2020

PLS Berkelas Masa Kini

Antusiasme pelajar, guru maupun orang tua akan terasa ketika momen masuk sekolah tiba.Tepat senin 17 Juli 2017 hampir seluruh sekolah di Indonesia kembali menjalani rutinitas kegiatan belajar mengajar (KBM) setelah libur akhir semester berakhir. Setelah pembagian hasil kenaikan kelas maupun kelulusan, siswa akan berada di kelas yang tingkatannya lebih tinggi. Jika siswa dinyatakan lulus dari sekolah sebelumnya maka akan bersiap menginjakkan kaki di sekolah baru. Untuk diterima di suatu sekolah yang diinginkan  tentu bukanlah hal yang mudah. Para siswa harus mengalami proses yang cukup melelahkan. Mulai dari melakukan tes yang menguji kemampuan intelektual, psikologi, sampai dengan pemeriksaan berkas-berkas terkait identitas dan hasil belajar siswa selama di sekolah sebelumnya. Namun proses yang melelahkan itu akan terbayarkan ketika nama mereka tertera dalam deretan penerimaan siswa baru di sekolah yang selama ini mereka harapkan.

Sudah barang tentu, menjadi bagian dalam suatu tempat maupun kelompok baru menuntut seorang siwa untuk lebih mengenal ruang lingkup yang terdapat didalamnya. Dalam hal ini sebagian dari kita mungkin akrab dengan Masa Orientasi Siswa (MOS) yang ternyata telah bergulir sejak zaman Belanda dengan istilah plonco. Seorang diplomat sekaligus pemimpin Indonesia pada perang kemerdekaan Indonesia bernama Mohammad Roem menceritakan pengalamannya di plonco ketika masuk Stovia (Sekolah Dokter Bumiputera) pada tahun 1924 .

Pada dasarnya, MOS dijadikan sebagai media pengenalan siswa terhadap identitas dan komponen suatu sekolah. Kegiatan-kegiatan dalam MOS pun berperan melatih jiwa kepemimpinan, ketahanan mental, serta  membuat siswa lebih cepat beradaptasi dengan lingkungan sekolah meliputi guru, staf, dan seluruh warga sekolah. Seiring berjalannya waktu, kegiatan MOS mulai berjalan tidak semestinya. MOS acap kali dibarengi dengan aksi senioritas yang mengandung unsur kekerasan yang berujung dengan aksi bully yang menuai berbagai ketidaksesuaian.

Para senior seolah ingin memperlakukan juniornya hal yang sama seperti yang juga mereka alami. Wajar saja MOS telah menjadi tradisi yang tidak lagi bertujuan sebagai media orientasi melainkan digunakan untuk memberikan kesan yang tidak menyenangkan bagi siswa baru. Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melalui siaran pers menyebutkan hal ini adalah “dendam sejarah”. Dendam sejarah yang dimaksud yaitu senior memperlakuan juniornya sebagaimana mereka diperlakukan dahulu.

Kegiatan MOS kerap dijadikan para senior sebagai ajang memperlakukan juniornya dengan hal konyol bahkan memalukan. Para siswa akan dipaksa menggunakan atribut yang tidak ada kaitannya dengan tujuan MOS itu sendiri. Beberapa contoh atribut atau kostum yang kerap digunakan dalam MOS yaitu topi kerucut yang terbuat dari karton, kaus kaki berbeda warna, pengenal nama dari karton, tas dari karung bahkan para siswa perempuan harus mengepang rambut sesuai dengan tanggal lahir mereka. Hal lain yang tidak berkaitan dengan tujuan MOS sesungguhnya ialah para siswa akan diminta membuat surat cinta kepada senior yang mereka sukai dengan disertai cap kaki bebek di bagian bawah. Junior pun diminta mengumpulkan semua tanda tangan seniornya. Terdapat beberapa senior yang tidak begitu saja memberikan tanda tangannya.Untuk mendapatkan tanda tangan mereka, para junior harus mengikuti arahan mereka seperti bernyanyi bahkan merayu senior lain.

Jika para siswa tidak menuruti kemauan ataupun  menggunakan atribut yang telah diminta oleh para seniornya maka senior tidak akan segan-segan memberikan hukuman berupa hukuman psikis yaitu menyanyi lagu dengan huruf yang diganti di hadapan para senior dan merayu siswa lain. Tidak sekadar hukuman psikis para senior pun akan memberikan hukuman fisik mulai dari membentak para junior, berdiri, keliling lapangan bahkan dari sinilah muncul aksi kekerasan fisik yang lebih parah seperti penamparan, pemukulan hingga penendangan. Aksi kekerasan ini menimbulkan berbagai akibat mulai dari trauma, cacat fisik, hingga kematian.

Dari keprihatinan ini, para siswa khususnya orang tua agaknya dapat bernapas lega sebab sejak tahun 2016 lalu keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang kala itu menjabat Anies Baswedan melarang tegas segala bentuk MOS sebagai bagian dari penerimaan siswa baru, sesuai dalam pasal 11 yang menyebutkan bahwasanya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 55 Tahun 2014 tentang Masa Orientasi Siswa Baru di Sekolah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Anies mengungkapkan alasannya secara resmi melarang kegiatan MOS yaitu rawannya aksi plonco maupun kekerasan. Menurut Anies, konsep kegiatan sudah saatnya diubah dan memutuskan masalah dibalik timbulnya aksi kekerasan dalam MOS. Meskipun begitu, kegiatan orientasi lingkungan sekolah masih tetap dilakukan namun kegiatannya dilakukan oleh guru pada saat jam pelajaran berlangsung.

Siswa akan diberi materi pengenalan tentang sistematika sekolah dengan lebih edukatif, menyenangkan serta lebih berkelas. Program yang baru dicetus ini semula bernama MOS dan berganti nama menjadi PLS atau Pengenalan Lingkungan Sekolah. PLS sendiri menitiberatkan pada pengenalan lingkungan sekolah yang sesungguhnya tanpa ada unsur intimidasi yang berakibat fatal. Tujuan dari PLS yaitu pertama, memperkenalkan sekolah baik tampilan fisik maupun program yang ada di dalamnya. Kedua, PLS harus memperkenalkan tradisi positif dari sekolah dan memberikan motivasi siswa agar lebih berani berprestasi. Ketiga, untuk sekolah berasrama harus mengutamakan pada pengenalan kehidupan asrama.

Tentunya dengan tujuan yang jelas dan terkoordinasi, PLS akan lebih bermanfaat untuk para siswa dalam mengenal dan beradaptasi dengan lingkungan sekolah. Dipastikan tidak akan ada lagi aksi yang menimbulkan risiko terhadap psikis maupun fisik karena kegiatan ini dipantau langsung oleh kepala sekolah dan guru. Guru akan bertugas sebagai pelaksana utama menggantikan OSIS atau siswa yang biasanya bertugas dalam MOS. Namun, OSIS dan siswa lain dapat dilibatkan hanya dalam hal membantu guru. PLS pun hanya diizinkan berlangsung dalam jangka waktu tiga hari.

Agar suasana PLS lebih edukatif pihak sekolah dapat mengundang para pakar, motivator, dan inspirator dalam kegiatan PLS. “Menggundang para ahli juga boleh dalam masa pengenalan sekolah.” ucap Anies. Anies yang kala itu ditemui di Komplek Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan bahwasanya siswa harus mengenakan seragam sekolah. Tidak perlu menggunakan atribut aneh-aneh. Cukup menggunakan atribut sekolah yang biasa digunakan. Dan sikap Anies yang paling tegas adalah meminta Dinas Pendidikan tidak ragu dalam memberikan sanksi kepada kepala sekolah jika masih mempertontonkan masa orientasi sebagai bahan pemuasan keinginan senior.

Adanya keputusan tegas Anies Baswedan, diharapkan tidak lagi memberikan kekhwatiran para siswa saat berada pada lingkungan baru khususnya dalam hal bersekolah. Sekolah adalah tempat seorang siswa menuntut ilmu bukan tempat unjuk kebolehan baik senior maupun junior. Tentunya hal berupa kekerasan psikis maupun fisik harus segera dihentikan terlebih lagi dalam lingkungan sekolah. Kita patut bersyukur akhirnya masa orientasi yang sarat akan aksi senioritas dan perploncoan dapat terganti dengan kegiatan PLS yang jauh lebih berrmanfaat, dan terpenting PLS sangat anti perplocolan dan pastinya berkelas di masa kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Etika dalam Menyimak

"Malu bertanya sesat di jalan”   sadar atau pun tidak ungkapan ini telah banyak mempengaruhi pemikiran masyarakat saat ini. Bertanya se...