Selasa, 19 Mei 2020

Nek Idang

Aku menarik sebilah bambu lalu melemparnya. Hampir menusuk punggung kaki seorang berwajah lugu. Memutarkan musik-musik pakem Melayu yang melontarkan nada-nada ironi. Lantas menari campak dengan tudung-tudung saji.

Aku berteriak ke hamparan kebun lada, melontarkan pantun-pantun di angkasa. Wahai alam! sejak kapan bumiku dikelilingi laut? Bumi yang kini kau sebut Serumpun Sebalai.

“Bagaimana? sudah ketemu idenya?”

Aku menggeleng pelan. Sejak tadi berselancar di internet tidak satu pun ide yang  kudapatkan. Aku malah tertarik membaca tulisan seorang sastrawan muda di sebuah laman blog. 

Aku begitu terbius dan tidak menyadari hujan telah mengguyur sejak tadi. Saat ini, aku duduk di kursi hijau perpustakaan dengan layar laptop yang sepertinya minta dimatikan. Kilat begitu cepat menyambar di langit. Sampai-sampai aku berani menarik kesimpulan kalau hujan ini akan berlanjut hingga malam hari.

Hampir pukul tiga sore. Aku masih menunggu jemputan di pos satpam. Hujan sepertinya sama sekali tidak mengizinkanku meninggalkan sekolah.

ka1 jadi ke Pulau Ketawai?” Tanya Bujang spontan.

“Iya, Jang. Kalau tidak ada halangan petang ini.”

Pekan lalu persisnya tanpa pikir panjang, aku langsung mengiyakan tawaran Dayang ke Pulau Ketawai. Katanya, ia rindu sekali Negeri Selawang Segantang.

Rindu dengan suasana pantai yang sejuk dan tenang. Sejak 5 tahun lalu, banyak cerita yang kami tinggalkan di negeri ini.  Termasuk suara tangisan yang masih membekas pada suatu malam di Pulau Ketawai.

Bujang langsung menyodorkan telepon genggamnya. Menunjukkan prakiraan gelombang tinggi yang akan terjadi di Pantai Bangka. Rasa khawatir perlahan menghampiri, namun aku berusaha mengalihkan dan meyakinkan kalau itu hanya sekadar berita. Namun, Bujang kembali meyakinkanku kalau berita itu dari BMKG. Sebisa mungkin aku menghilangkan segala kekhawatiran itu.

***

Aku berdiri di sebuah jembatan. Lantas memandang senja yang singgah di Kurau2. Tampak rumah-rumah terapung di air beserta batang-batang kayu penyangganya.

Kapal-kapal nelayan yang tak sungkan berlabuh memenuhi sisi pantai. Pun dengan aroma-aroma ikan asin yang dijajakan di setiap sudutnya.  Kami terpaksa menyewa sebuah perahu untuk sampai ke Ketawai karena memang tidak ada transportasi apa pun selain perahu nelayan.

Perahu mulai menyusur perlahan ombak-ombak pantai. Semakin kapal ini menjauhi Kurau dan mendekati Ketawai, semakin banyak kendala yang kami hadapi.

Hujan turun begitu saja. Ombak terus menghadang. Kami hanya bisa berdoa yang baik-baik saja. Sampai akhirnya di tengah perjalanan, sebuah ombak besar mulai menyentuh bagian lambung kapal.

Suasana berubah menjadi menakutkan dan mencekam. Gelombang super besar sebentar lagi akan menghantam perahu kami. Apa ini? Aku dan Dayang hanya bisa berteriak sekencangnya-kencangnya. Ahhhhh! Brakk!

Ikak urang mane3?”

Aku tersentak. Perlahan aku membuka mata dan merasakan samar-samar pada penglihatan. Aku langsung bangun dari hamock4 yang tergantung di dua nyiur di pinggir pantai.

Aku mimpi buruk sekali. Tunggu dulu, suara siapa tadi? Suara aksen khas Melayu membangunkanku dari kepenatan setengah jam perjalanan laut dari Kurau ke Ketawai. Ah, sudahlah. Mungkin itu juga bagian dari mimpi.

Aku menadahkan tangan meraup dinginnya air di pesisir. Menghilangkan perasaan-perasaan letih dan penat yang aku rasakan. Aku menoleh ke samping kanan dan melihat sepasang kaki berjalan mendekatiku.

  Semakin lama semakin banyak kaki-kaki itu berdatangan menuju ke arahku. Aku lantas mengangkat leher dan memperhatikan mereka satu persatu. Tubuh pendek, kulit hitam, dan berambut pirang.

Dayang segera menghampiriku. Bersamaan dengan itu, orang-orang itu juga berlari semakin kencang menghampiri kami. Kami semakin kebingungan. Mereka semakin dekat. Mereka langsung menarik kencang tangan kami. Menyeret kami di antara pasir-pasir pinggir pantai. Mulut kami didekap dengan tangan. Tangan kami diikat dengan kain. Siapa mereka ini?

***

Aku menoleh kanan-kiri. Mengamati bangunan rumah panggung berdiri di antara ratusan pohon kelapa. Tudung telindak4 dan suyak5 tergantung di salah satu dinding.

Sepasang kaki itu kembali mendekat. Aku meraih tangan Dayang. Ayolah!  jangan dekati kami. Namun, kini ia duduk di depanku. Aku langsung mengamati garis wajahnya. Berkerut dan sayu.

Kenapa cucuk6 datang di saat seperti ini? Pantai sedang ribut. Ini masuk Rebo kasan7.” Suaranya lemah sekali.

“Nenek siapa?” Tanya Dayang curiga.

“Nenek sudah tua, Cuk. Nenek sudah lama tinggal di sini. Tinggal menunggu waktunya saja. Nenek bahkan lebih tua dari nenek kalian,” jelasnya dengan terbata-bata.

Nek Idang rupanya, Batinku

Malam sangat gelap. Tidak ada satu pun cahaya. Nek Idang berusaha menyalakan api dari puntung-puntung kayu di pinggir pantai.

 Aku menggosok tanganku dan menutup mata. Sesaat kemudian, suara tangis muncul tiba-tiba. Semakin terisak  dan memilukan. Aku bangun dan mencari sumber suara. Tiba-tiba Dayang langsung memelukku. Matanya berurai air mata.

“Apa yang membuat kau menangis Dayang?” Aku berusaha menenangkan Dayang.

“Aku sudah bersalah. Aku ini anak durhaka,” Ia menjelaskan dengan tangis yang tak kunjung reda.

Ia ceritakan banyak masalah di rumahnya. Ia bertengkar hebat dengan Ama8-nya. Hal itulah yang membuat Dayang mengajakku ke Pulau Ketawai. Ia ingin melampiaskan segala sesak dalam dadanya. Namun entah apa yang terjadi pada kami saat ini, ia hanya bisa menyesal.

Dayang adalah seorang gadis keturunan Tionghoa. Sejak aku mengenalnya ia adalah seorang yang tangguh. Aku tidak menyangka ia akan menangis di pelukanku.  Dulu, ia tinggal di Kampung Jawa yang isinya semua keturunan Tionghoa.

 Ia tidak fasih bahasa Melayu, namun aku suka kerja kerasnya. Ia selalu berusaha menggunakan bahasa Melayu dengan percampuran dialek dan aksen Tionghoa. Aslinya pun namanya Dayana, namun atas kesepakatan kami berdua, ia setuju kalau aku memanggilnya Dayang, yang dalam Bahasa Melayu berati seorang gadis.

Malam itu juga, Dayang memaksaku meninggalkan tempat ini. Ia tidak kuat menahan kegelapan dan kebisingan burung-burung elang di angkasa. Pun dengan masalah yang dihadapinya. Ia ingin segera minta maaf kepada Ama-nya.

“Jangan sekarang Dayang, tunggulah sampai besok. Lagi pula laut sedang tak bersahabat saat ini,” aku berusaha membujuk Dayang untuk lebih tenang dan bersabar.

“Tidak bisa. Aku harus menemui Ama sekarang. Aku tinggalkan Ama sendiri. Pasti beliau sedang mengkhawatirkanku. Aku ini memang durhaka,” Dayang semakin merasa bersalah dan tidak berhenti menangis.

Sesaat setelah kesedihan itu, Nek Idang meninggalkan kami. Tak lama kemudian, ia pun datang kembali membawa makanan. Lempah kuning, rusip, dan air hangat kuku tersaji di sebuah dulang berbentuk lingkaran.

 Ia memaksa kami memakan makan itu. Aku pun sejujurnya juga tergiur dengan semua makanan itu. Makanan khas masyarakat pesisir Bangka yang terlihat segar dan lezat.

“Makanlah dahulu, Cuk. Nek Idang sudah siapkan perahu untuk kalian pulang, Nek Idang harap kalian tetap waspada karena pantai sedang ribut. Jangan pernah lupa untuk berdoa,” nasihat Nek Idang.

Tanganku mulai meraih makanan itu. Namun Dayang segera menepis tanganku. Ia mendekatiku dan membisikkan suatu kalimat yang menyebutkan kalau kami tidak boleh sepenuhnya percaya dengan Nek Idang. Bisa jadi nenek ini berniat tidak baik terhadap kami.

“Nanti kita Kepun11 Dayang, kita akan celaka,” sanggahku pada Dayang.

“Tidak mungkin, baca saja mantra pan-pin-pun-jangan-kepun,” Ujar Dayang tanpa memperhatikan wajahku yang lemas karena belum makan seharian.

Nek Idang mendapati kami yang sama sekali tidak sedikit pun menyentuh makanannya. Wajahnya seperti sangat kecewa. Saat itu pula aku berusaha menjelaskan kalau kami sudah kenyang.

Kami katakan bahwa kami harus pulang saat ini juga. Nek Idang berusaha menghalangi jalan kami. Ia meminta kami menunggu hingga esok hari. Namun, Dayang tetap bersikeras untuk sesegera mungkin meninggalkan tempat ini.

Kami berlari meninggalkan tempat itu. Kata Nek Idang, kami harus melewati sebuah pohon raksasa yang tumbuh ratusan tahun lalu di perjalanan pulang. Pohon itu sempat ditebang karena akarnya sudah merambat ke mana-mana. Namun setelah ditebang, pohon itu kembali tumbuh kokoh seperti semula.

Hutan semakin gelap. Cerita Nek Idang semakin terngiang-ngiang. Katanya pohon itu ada penunggunya. Itulah mengapa sudah beberapa kali ditebang pohon itu masih kokoh.

 Sebentar lagi kami akan melalui pohon itu. Sekejap kakiku terasa berat dan badanku tersungkur mengenai akar yang mencuat dari tanah. Sikutku luka. Perih dan sakit sekali. Aku menggigit tangan menahan rasa sakit. Melihatku terluka, Dayang langsung membalut lukaku dengan potongan kain.

Kami tak pantang arang. Kami langsung melanjutkan perjalanan. Obor yang kami bawa seketika padam diguyur hujan. Baju kami basah. Badan kami dingin dan kami lelah.

Tak salah lagi ini semua pasti karena Tulah Kepun. Aku tidak makan-makanan tadi bahkan menyentuhnya pun tidak.

    “Semua ini karena kau, Dayang!” Aku menangis terisak menahan emosiku.

 

“Aku terlalu menuruti semua keinginan kau. Mulai dari ke Ketawai sampai Tulah Kepun yang kau buat sekarang, kau memang egois. Pantas kau diusir Ama Kau,” aku mengeluarkan segala emosi yang sesak di dadaku.

 

Dayang merasa bersalah dan minta maaf. Kini kami hanya bisa menangis di antara tangisan hujan. Berat sekali rasanya. Lalu Dayang memegang erat tanganku di kegelapan malam. Aku ditariknya. Sangat kuat sekali.

 

Ternyata itu bukan Dayang. Itu Nek Idang. Beliau kembali membawa kami ke rumah panggungnya. Ia merasa amat khawatir terhadap kami berdua. Nek Idang mengatakan mustahil sekali kami pulang saat ini juga. 

 

Kami tidak bisa melawan alam, apalagi laut. Berbahaya sekali. Ia pun menyayangkan kami tidak mencicipi makanannya. Ia khawatir kami akan kelaparan dan sakit.

 

Meskipun kenal betul tradisi Bangka, Nek Idang tak sepenuhnya percaya dengan Tulah Kepun. Suatu mitos  yang terkenal hampir  di seluruh Bangka Belitung.  Masyarakat percaya jika suatu makanan telah disiapkan, suka tak suka makanan harus dimakan.

 

Setidak-tidaknya dicicipi dan disentuh dengan ujung jari. Jika tidak dilakukan, maka akan terkena Tulah Kepun. Namun, menurut Nek Idang tidak ada hubungan antara Tulah Kepun dengan mara bahaya.  Makanan hanya perlu dihargai. Tak baik menyia-nyiakan makanan begitu saja.

 

“Cepat makan. Nek Idang tahu kalian pasti lapar sekali. Nek Idang dapatkan bahan makan dari laut dan alam jadi tak perlu cucuk risaukan,” Nek Idang kembali menghidangkan makanan.

 

Aku dan Dayang langsung menikmati Lempah Kuning. Warna khas rempah-rempah yang memberi kehangatan  pada malam itu. Kami merasa tak enak hati dan berutang budi pada Nek Idang. Ia ternyata baik sekali.

 

Malam itu kami berdua tertidur di pangkuannya. Ia menyelimuti kami dengan kain batik cual jahitannya. Ia membelai rambut kami dan menceritakan kisah hidupnya.

 

“Nek Idang bangga terhadap Cucuk berdua. Walau Cucuk berdua perempuan tapi Cucuk berdua berani dan pantang menyerah. Macam Atok Idang dahulu yang pantang menyerah mempertahankan tanah Bangka ini. Kalian tahu tanah ini jua yang membawa perpisahan Atok dan Nek Idang. Tapi, dek tahu ngape lah12, Nek Idang masih punya tanah ini. Tanah Indonesia yang dahulu Atok Idang juangkan mati-matian. Cucuk berdua harus terus jaga tanah ini! Baik budaya, bahasa, tradisi, dan kekayaannya.”

 

Pipi Dayang basah, ia begitu amat menyesal apa yang dilakukannya. Termasuk kecurigaannya terhadap Nek Idang. Ia berjanji menjadi pribadi yang lebih baik, dengan menghormati orang tua dan selalu menjaga segala kekayaan tanah air ini, seperti yang di pesankan Nek Idang.

***

Mereka duduk di sebuah kelas dengan bangku yang disusun melingkar. Mendengarkan kisahku tentang Nek Idang. Kisah yang aku baca di sebuah buku harian yang aku temukan sepulang sekolah.  Aku menceritakan detail cerita di setiap lembarnya. Tentang Nek Idang, Dua pemudi tangguh, dan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Etika dalam Menyimak

"Malu bertanya sesat di jalan”   sadar atau pun tidak ungkapan ini telah banyak mempengaruhi pemikiran masyarakat saat ini. Bertanya se...