Selasa, 27 Juli 2021

Etika dalam Menyimak

"Malu bertanya sesat di jalan”  sadar atau pun tidak ungkapan ini telah banyak mempengaruhi pemikiran masyarakat saat ini. Bertanya seolah menjadi satu-satunya jalan untuk mengetahui sesuatu. Akibatnya, seseorang lupa untuk memperhatikan sesuatu dengan saksama. Memperhatikan sebenarnya adalah modal awal untuk mendapat dan merekam informasi. Lebih kompleks, dikenal istilah “menyimak” yang dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti mendengarkan (memperhatikan) baik-baik apa yang diucapkan atau dibaca seseorang.

Menyimak juga erat kaitannya dengan proses mendengarkan lambang-lambang bahasa lisan. Menyimak harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, diperhatikan dengan baik, dipahami, dan diapresiasi, serta diinterpretasi untuk memperoleh informasi berupa isi atau pesan yang disampaikan secara nonverbal. Jadi menyimak ini mencakup konsep dan praktik yang amat kompleks, yang berguna dalam memahami konteks atau bahan simakan  (https://eprints.uny.ac.id).

Namun, kenyataannya praktik menyimak yang demikian tidak lagi diterapkan. Etika dalam menyimak mulai tidak diperhatikan lagi. Sebagai contoh, yaitu sebuah kasus ketika sedang berlangsung sebuah khotbah. Namun salah satu audiensi tidak menyimak dengan baik, sehingga audiensi tersebut lantas akan bertanya pada audiensi lainnya. Tentu, akibat perbuatan tersebut yang dirugikan bukan hanya audiensi yang bertanya tersebut, tetapi juga audiensi lainnya.

Bercermin dari kasus tersebut, maka hal terpenting yang patut diperhatikan pertama yaitu etika. Etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya (Bertens, 2017). Memahami dan menjalankan etika adalah suatu keharusan karena etika erat hubungannya dengan segala lini kehidupan. Etika akan menentukan sejauh mana rasa menghargai dan kewajiban moral yang dilakukan seseorang.

Kegiatan menyimak akan berjalan dengan lancar ketika penyimak memahami betul manfaat dari menyimak. Untuk mencapai pada posisi tersebut maka dalam mengawali kegiatan menyimak, penyimak harus mematuhi terlebih dahulu etika-etika dalam kegiatan menyimak. Hal itu dimaksudkan agar kegiatan menyimak tidak sekadar menjadi proses, namun informasi yang disampaikan dapat diserap dan terekam dengan baik.

Etika dalam perkembangannya lambat laun berubah dan berkembang sesuai dengan kebutuhan manusia. Namun, hal tersebut bukan berarti mengurangi kadar manusia dalam beretika. Manusia akan jauh lebih baik ketika posisi etika dinomorsatukan. Adapun etika-etika yang diperlukan dalam menyimak meliputi, memahami bahan simakan, menghindari gangguan, mengendalikan emosi, mencatat bahan simakan, meningkatkan rasa empati dan menghargai, memaksimalkan fungsi indera serta yang terakhir membuat kesimpulan (Anisa, 2016).

B.     Memahami Bahan Simakan

Memahami bahan simakan adalah etika yang perlu diperhatikan ketika kegiatan  menyimak berlangsung. Langkah utama dalam memahami bahan simakan adalah menentukan pokok pikiran bahan simakan. Menentukan pokok pikiran menjadi penting karena kegiatan menyimak biasanya berlangsung cukup lama. Tidak selamanya yang dipaparkan dalam kegiatan menyimak itu berupa inti sari. Bisa jadi yang sedang disimak adalah penjelas-penjelas dari inti sari yang sebenarnya hanya informasi tambahan. Dengan demikian, kemampuan fokus amat diperlukan agar penyimak dapat memahami betul inti-inti sari bahan simakan.

C.     Menghindari Gangguan

Gangguan dalam kegiatan menyimak bisa bersumber dari dalam atau pun dari luar. Gangguan dari dalam bersumber dari dalam diri yang bisa muncul karena kesengajaan atau ketidaksengajaan. Contoh gangguan dari dalam misalnya, penyimak terpengaruh dengan rasa kantuk dan rasa malas yang tiba-tiba muncul. Gangguan tersebut dapat diatasi dengan kesadaran dari dalam diri penyimak sendiri.

Sedangkan gangguan dari luar adalah gangguan yang bersumber dari luar diri penyimak. Gangguan dari luar bisa terjadi akibat pengaruh  orang lain, seperti orang lain yang mengajak berbicara. Gangguan dari luar juga dapat dipengaruhi oleh benda dari luar, seperti diri sendiri yang tidak bisa lepas dari pengaruh telepon genggam. Oleh karena itu, etika berupa menghindari gangguan sangat diperlukan agar dalam kegiatan menyimak, penyimak akan tetap fokus. 

D.    Mengendalikan Emosi

Ada kalanya bahan simakan yang dipaparkan tidak sesuai dengan perspektif penyimak. Hal tersebut bukan berarti membuat penyimak lantas mengabaikan bahan simakan, disitulah etika berupa mengendalikan emosi amat diperlukan. Bersikap objektif adalah jalan yang dilakukan untuk dapat mengendalikan emosi. Bersikap objektif  dapat terlihat dari kebiasaan menyatakan apa adanya tanpa diikuti perasaan pribadi. Sehingga pandangan penyimak murni mengenai menyimak tanpa ada sangkut paut dengan faktor-faktor lain. Terlepas dari segala ketidaksesuaian tersebut maka yang perlu dipahami terlebih dahulu adalah tujuan dari menyimak itu sendiri (Anwar, 2009).

E.     Mencatat Bahan Simakan

Dalam kegiatan menyimak, memperhatikan dan mendengar tidaklah cukup. Sebab informasi-informasi yang didapat belum tentu dapat tersimpan dengan baik. Sebagai solusi, penyimak dapat memanfaatkan buku atau catatan kecil untuk mencatat inti sari dari bahasan simakan. Meskipun demikian, kegiatan memperhatikan, mendengar, dan mencatat sekaligus bukanlah sesuatu yang mudah. Perlu ekstra konsentrasi dan latihan yang rutin agar ketiga kegiatan tersebut dapat berjalan beriringan.

Oleh karena itu, dalam mencatat bahan simakan tidak semua yang dipaparkan perlu dicatat.  Langkah pertama cukup mencatat informasi-informasi penting. Lalu mencari kata kunci-kunci kunci. Setelah itu, baru mengembangkan kata-kata kunci dengan informasi-infromasi tambahan.

Dan yang paling terakhir adalah merefleksikan bahan simakan dalam kehidupan. Memang langkah-langkah tersebut terkesan rumit namun dengan menerapkan langkah-langkah tersebut maka materi simakan akan lebih mudah untuk dipahami.

F.      Meningkatkan Rasa Empati dan  Menghargai

Dalam memunculkan rasa menghargai yang perlu dimunculkan terlebih dahulu yaitu rasa empati. Sayangnya, dalam sebuah studi yang dilakukan Pennsylvania Stage University menyatakan bahwa rasa empati yang dilakukan kebanyakan orang hanya akan menghabiskan waktu dan energi mental. Tentu pernyataan tersebut sangat tidak tepat. Rasa empati bukan hanya bermanfaat bagi diri sendiri namun erat hubungannya dengan orang lain  (Calista, 2019).

Rasa empati dan menghargai berasal dari dalam diri, sehingga kontrolnya berada di tangan pribadi masing-masing. Empati dan menghargai dapat ditumbuhkan ketika kita membayangkan berada di posisi orang lain. Dalam kegitan menyimak, penyimak harus membayangkan jika ia menjadi orang yang memberikan materi. Sehingga akan timbulah rasa untuk menghargai.

G.    Memaksimalkan Fungsi Indera

Indera yang digunakan dalam menyimak adalah indera penglihatan dan indera pendengaran. Indera penglihatan semaksimal mungkin digunakan untuk memperhatikan ketika kegiatan menyimak berlangsung. Pun demikian dengan indera pendengaran. Indera pendengaran berperan untuk menangkap informasi dari bahan simakan. Dari kedua indera tersebut ada kalanya keduanya digunakan secara bersamaan ataupun hanya memerlukan satu indera saja.

Sebagai contoh, ketika menyimak berita di televisi maka indera yang digunakan adalah  adalah indera penglihatan dan indera pendengaran. Karena pada saat itu akan ditampilkan visualisasi dari televisi dan audionya. Hal tersebut juga berlaku ketika mendengar seminar.  Sebaliknya, ketika mendengar radio ataupun rekaman suara indera yang digunakan hanya indera pendengaran. Dengan demikian, sikap selektif harus dipergunakan agar kegitan menyimak dapat berjalan dengan lancar.

H.    Membuat kesimpulan

Setelah kegiatan menyimak berakhir yang perlu dilakukan penyimak adalah membuat kesimpulan. Kesimpulan ini dapat dilakukan dengan meramu kembali materi-materi yang disampaikan selama kegiatan menyimak berlangsung. Membuat kesimpulan berguna untuk menangkap intisari pembicaraan. Membuat kesimpulan disarankan menggunakan kata-kata sendiri, agar lebih mudah untuk memahami bahan simakan.

I.       Penutup

Semua hal yang ada di kehidupan memang harus mengedepankan etika. Etika akan membangun kebiasaan pribadi yang lebih terarah. Begitu pun dengan kegiatan menyimak. Dalam kegiatan menyimak sangat perlu memperhatikan etika-etika. Etika-etika tersebut bukan hanya diterapkan satu persatu namun harus dilakukan bersamaan. Jadi mungkin kedepannya tidak akan ada lagi pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu dipertanyakan. Sebab ketika telah mempraktikkan segala etika tersebut maka hasilnya akan berpengaruh terhadap keberhasilan kegiatan menyimak.

Daftar Pustaka

Anisa, I. (2016, Agustus). Keterampilan Menyimak yang Baik dan Benar.                                     Diakses pada 28 Desember 2019, dari Hamasah: http://annisafummy.blogspot.com/2015/08/keterampilan-menyimak-yang-baik-dan.html?m=1

Anwar, H. (2009). Penilaian Sikap Ilmiah Dalam Pembelajaran Sains. Jurnal Pelangi Ilmu, Volume 2 Nomor 5.

Bertens, K. (2017). Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Calista, N. (2019, November 4). Begini Jadinya Bila Kita Sudah Tak Lagi Berempati. Diakses pada 28 Desember 2019, dari Kompasiana: https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/namiracalista/5dbf3b6fd541df20e6065dd2/begini-jadinya-bila-kita-sudah-tak-lagi-berempati

 (n.d.). Diakses pada 28 Desember 2019, dari https://eprints.uny.ac.id: https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://eprints.uny.

Pola Asuh Push Parenting dalam Novel Happiness karya Fakhrisna Amalia

Pendahuluan

Peran orang tua dalam membesarkan, melindungi, dan mendidik anak-anaknya bukan perkara yang mudah. Orang tua memiliki andil besar dalam membentuk jati diri dan kepribadian anak-anaknya. Dalam hal demikian, erat kaitannya dengan pola asuh yang diterapkan orang tua dalam membesarkan dan mendidik anak-anaknya.  Pola asuh setiap orang tua terhadap anaknya tentu akan berbeda-beda. Beragam cara pengasuhan tersebut pada dasarnya terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu demokratis, permisif dan otoriter (Nurani, S, Damaianti, dan Chairuddin, 2019: 1148). Ketiga kelompok pengasuhan tersebut memiliki dampak berupa kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Dari ketiga kelompok pengasuhan tersebut, masih ada pengerucutan yang memfokuskan dari pola asuh orang tua terhadap anak-anaknya. Salah satunya pola asuh push parenting. Pada pola push parenting sikap orang tua memiliki pola yang begitu khas yakni penggambaran orang tua yang banyak menuntut dan ambisius. Menurut Elizabet B Hurlock dalam (Muslima, 2015:88) ambisi orang tua terhadap anak seringkali menunjukkan sikap yang tidak realistis. Munculnya rasa ambisius orang tua dipengaruhi tidak tercapainya ambisi pada diri orang tua itu sendiri dan hastrat menaikkan status sosial anak.

Seperti halnya pola-pola asuh lainnya, dalam menerapkan push parenting orang tua memiliki pertimbangan tersendiri. Push parenting menekankan pola pengasuhan orang tua agar anaknya menjadi sosok yang sempurna. Pola asuh ini menekankan seorang anak menjadi seseorang yang lebih dari orang tuanya. Orang tua dengan pola asuh push parenting memiliki anggapan bahwa keberhasilan anaknya akan bergantung penuh dari orangtuanya. Padahal, orang tua belum dapat dipastikan mengenali setiap potensi yang ada pada diri anaknya. Kadang kala kemunculan rasa untuk mendorong anak menjadi pribadi yang lebih di atas anak-anak lain,  malah memicu beban moril bagi anak.

Pemicu kemunculan push parenting dilatarbelakangi kekhawatiran mendalam bilamana anak-anaknya tidak dapat menggapai prestasi melebihi orang tua, serta rasa antisipasi di masa depan terkait nasib anaknya. Bila melihat dari sisi positif maka tidak ayal bahwa dorongan tersebut dapat terlihat baik. Orang tua juga tidak dapat sepenuhnya memberikan kebebasan bagi anak sebab akan berakibat pada salah arah. Terkadang niat dan maksud baik dari push parenting diterapkan secara berlebihan yang akhirnya memicu kekeliriuan. Pada push parenting orang tua mengambil andil yang cukup besar yang sering kali tidak mempertimbangkan psikolgis anak. Acapkali pola asuh yang digunakan malah memperkeruh keadaan. Anak merasa berada pada lingkungan yang penuh ekspektasi dan intimidasi. Hal demikian yang akhirnya menimbulkan dampak negatif terhadap anak, salah satunya rasa tertekan pada diri anak.

Menurut hasil penelitian Rohner, bahwa pola asuh yang menempatkan anak menjadi sosok yang diterima membuat anak menjadi sosok yang merasa dilindungi, disayang, dianggap berharga, dan didukung penuh oleh orang tuanya akan menunjukkan pola asuh kondusif. Hal demikian sekaligus berdampak pada pembentukan kepribadian anak menjadi individu yang peduli sosial, percaya diri, mandiri. Sedangkan pola asuh yang menempatkan anak menjadi sosok yang menolak membuat anak akan merasa tidak diterima, dikecilkan, tidak diterima, tidak disayang, dikecilkan, bahkan dibenci oleh orang tuanya. Dampak dari pola asuh tersebut juga diiringi dengan sikap anak yang mudah tersinggung, berpikiran negatif terhadap orang lain dan lingkungan, bersikap agresif, merasa minder dan tidak percaya atas dirinya sendiri (Muthainnah, 2019: 9).

Orang tua sejatinya tidak dapat menentukan sepenuhnya jalan hidup anak, apalagi sampai mengorbankan kebahagiaan anaknya. Perlu disadari orang tua dan anak memiliki hak dan kewajiban tersendiri. Orang tua berkewajiban mendengarkan kebutuhan anak dan memberi kesempatan anak untuk mengembangkan kemampuannya. Namun, bukan berarti orang tua melepas tanggung jawab orang tua terhadap anaknya. Orang tua harus mengiringi setiap langkah dari pilihan anaknya dengan menyeimbangkan hak dan kewajiban atas anak dan orang tua.

Sejalan dengan pola push parenting tersebut, sebuah novel berjudul Happiness karya Fakhrisna Amalia memberikan gambaran kehadiran push parenting yang memberikan dampak terhadap psikologis tokoh utama yang masih dalam tahap pencarian jati diri. Banyak ditunjukkan pergolakan antara tokoh utama dan orang tuanya.

2.      Pola Asuh Push Parenting

Pola asuh dimaknai sebagai perlakuan orang tua atas anaknya yang berwujud melindungi, menjaga, dan mendidik anaknya. Dalam epistimologi pola asuh terdiri atas dua makna, pola berarti cara kerja dan asuh berarti menjaga, melindungi, dan mendidik anak.  Dengan demikian, dalam pola asuh akan selalu berkenaan dengan peran orang tua sebagai sentral pendidik bagi anaknya. Pola asuh mencakup strategi yang bermacam-macam yang memiliki peranan dalam mendorong anaknya mencapai tujuan yang ingin dicapai. Tujuan tersebut antara lain berupa pengetahuan, moral, dan standar perilaku yang harus dimiliki anak sebagai suatu individu (Mussen, dikutip dalam Devi, 2012: 11)

Pola asuh orang tua adalah sikap dan cara orang tua dalam mempersiapkan anggota keluarga yang lebih mudah termasuk anak supaya dapat mengambil keputusan sendiri dan bertindak sendiri sehingga mengalami perubahan dari keadaan bergantung kepada orang tua menjadi pribadi yang mandiri (Gunarsa Singgih, dikutip dalam Fauzi, 2015: 10).

Pada dasarnya pola pengasuhan orang tua terhadap anak terbagi dalam tiga kelompok yaitu pola asuh demokratis, permisif, dan otoriter (Nurani, S, Damaianti, dan Chairuddin, 2019: 1148). Pola asuh demokratis ditunjukkan dengan perlakukan seimbang orang tua dalam mendorong dalam mengendalikan anaknya. Begitu halnya dengan pola asuh permisif, pola ini ditunjukkan dengan perlakuan orang tua yang memberikan kebebasan penuh anaknya untuk melakukan hal yang mereka sukai. Sedangkan pola asuh yang terakhir, yaitu pola asuh otoriter. Pola asuh ini dapat dipandang sebagai pola asuh yang paling mutlak. Dalam pola asuh ini orang tua akan memberikan aturan yang tidak dapat diganggu gugat dan hukuman atas kesalahan yang dilakukan anaknya.

Dari ketiga pola asuh tersebut, terdapat pola asuh yang lebih difokuskan yakni salah satunya push Parenting. Push parenting merupakan istilah yang merujuk pada pola asuh yang menekan hak kepada seorang anak, pola asuh yang penuh dengan tuntutan, menetapkan target dan standar yang memungkinkan melampaui batas fisik maupun psikologis anak.

Kekhawatiran akan push parenting yaitu anak menjadi korban atas ambisi orang tua, sehingga berdampak pada mentalitas anak. Anak yang tumbuh pada pola push parenting akan terganggu perkembangan emosional dan sosialnya, yang memungkinkan anak menjadi rendah diri, berorietasi akan dirinya negatif, serta yang paling mengkhawatirkan ialah anak kehilangan kesempatan untuk mengembangkan jiwa yang mandiri dan menyelesaikan masalah (Hidayati, 2016).  

Karya sastra yang mengangkat pola asuh orang tua (parenting) sudah awam di Indonesia. Penggambaran kehidupan keluarga yang penuh intrik terhadap anak-anaknya menjadi representasi pola-pola asuh yang memang muncul di masyarakat. Melalui Novel Happiness mencoba memberikan cerminan dari pola push parenting yang dialami Ceria selaku tokoh utamanya.

Pada pembahasan ini, akan dijabarkan dalam beberapa tahapan dalam mempermudah pembaca. Tafsir atas karya sastra dibagi menjadi beberapa sub bab yang menjadikan alur dari awal mula pola push parenting hingga akhir. Berikut adalah penjabaran yang lebih jelas.

2.1. Antara Idealisme dan Ambisi Orang Tua

Pembahasan terkait novel akan menitiberatkan lingkup idealis orang tua yang tanpa disadari telah memunculkan sebuah dorongan yang baru. Sebagaimana tokoh Ceria Dandelia harus berhadapan pada perspektif orang tua yang telampau idealis.

Idealisme dapat dipahami sebagai bagian dari aliran filsafat yang mempunyai pandangan bahwa hakikat segala sesuatu terdapat pada tataran ide. Realitas dalam wujud sebenarnya lebih dulu dipahami dalam realitas ide dan bukan pada yang sifatnya materi (Rusdi).

Idealis yang terbangun dalam novel ini difokuskan pada ranah pendidikan yang merupakan suatu identitas sosial yang  terbangun pada keluarga Ceria. Pandangan awal idealis orang tua ditujukkan pada sosok ibu dari tokoh utama, dengan panggilan Mama. Idealis Mama dari Ceria tersurat melalui kutipan dialog sebagai berikut.

“Masak anak dosen Matematika ngga masuk IPA? Coba kamu lihat Reina. Nilai metematikanya dari dulu selalu dari bagus dari kamu. Kamu sebenarnya bisa, kok. Cuma malas saja.”

Berdasar atas kutipan dialog, sosok orang tua dari Ceria terutama mamanya memiliki pemikiran bahwa seorang anak harus serupa orang tuanya. Tidak peduli kesempatan apa yang berusaha dicapai seorang anaknya. Idealisme akan pendidikan telah memberikan keterbatasan ruang bagi diri Ceria. Hidup di antara keluarga dengan pengetahuan mumpuni membuanya harus dapat menjadi setara di antara meraka. Ceria harus dapat memiliki karir cemerlang layaknya seorang ibu yang berprofesi dosen dan tutor eksakata, bapak yang merupakan seorang akuntan ternama, dan seorang kakak yang menempuh kuliah di Arsitektur

Idealisme ini yang pada akhirnya membuat Ceria terbelenggu dalam lingkar ambisi orang tuanya. Menurut Elizabet B Hurlock dalam (Muslima, 2015:88) ambisi orang tua terhadap anak seringkali menunjukkan sikap yang tidak realistis. Kendati demikian, ada seorang kakak yang berusaha menolak segala ambisi yang terbangun dalam keluarga mereka. Berikut adalah kutipan yang mengisyaratkan penolakan atas ambisi mamanya.

Ceria punya bidangnya sendiri. Ia pandai bicara. Ia pandai dalam menguasai bahasa. Ia pandai mengemukakan gagasannya. Ia adalah pembicara yang baik dan persuasif jika saja hidup tidak mengajirinya untuk tumbuh dengan menganggap orang lain menjadi sebagai saingan. Ia tumbuh dengan tuntutan dari standar Mama dan Papa yang bukan menjadi kemampuannya. Ia tumbuh menjadi sosok yang membenci orang lain yang bisa menggapai apa yang tidak bisa digapainya.

Ceria yang ingin tumbuh menjadi pribadi yang berbeda dari keluarganya akhirnya malah terjebak pada situasi yang membuatnya menerima itu semua. Terlepas dari itu adalah pilihan terbaik atau tidak bagi dirinya.

2.2. Membandingkan Anak dengan Anak Lain

Membandingkan anak-anak bukan lagi suatu hal baru dalam lingkungan masyarakat. Bahwa terkadang muncul asumsi bahwa motivasi terbaik adalah dengan membandingkan dua hal yang pada dasarnya tidak seimabang. Tolok ukur yang digunakan dalam perbandingan kadang kala tumpang tindih. Begitu pula halnya bila membahas tentang membandingkan anak.

Anak yang pada dasar fitranya seperti manusia lain yang pasti berbeda bukanlah figur yang dapat disamaratakan. Dalam bidang pendidikan, mengenali potensi anak adalah suatu hal yang penting, hal demikian dapat diketahui melalui perbedaan kamampuan anak (Latipah, 2099: 106).

Perlakuan membanding-bandingkan yang dilakukan orang tua dapat sepenuhnya dirasakan pada diri seorang Ceria. Ceria yang tidak secerdas Reina dalam bidang Matematika malah menjadi suatu hal yang dipandang serius bagi mama Ceria. Sebagai seorang dosen Matematika, mamanya merasa sudah selayaknya Ceria berada di atas Reina ataupun diminalkan setara dengan Reina. Perlakuan membandingkan yang dilakukan mama Ceria di dapati pada kutipan berikut.

“Ah, si Ceria ini sih nggak ada apa-apanya kalau dibandingkan sama Nak Reina. Semua orang juga bisa ikut studi banding.” Mama mengucapkan hal itu seolah-olah itu adalah lelucon yang semua orang akan senang hati ikut tertawa.  

Selain dengan teman sebanyanya, Ceria juga mendapat tekanan atas prestasi Kakaknya. Ceria yang dianggap tidak lebih dari dari yang didapat kakaknya. Kakanya yang juga bergelut pada bidang eksakta membuat Ceria dianggap tidak lebih baik, sebab nilai Matematika Ceria dapat dikatakan sering mengecewakan. Hal demikian ditujukkan melalui kutipan berikut.

“Iya, sih...” sahut Mama lagi, “tapi kalau kau aja bisa dapat peringkat satu, kenapa Ceria nggak bisa?”

Perbandingan yang didasarkan ambisi dan egoisme itu ditimpakan pada Ceria. Seorang gadis remaja yang dipaksa memahami sebuah strata sosial. Sebuah tolak ukur yang mesti tercapai bila ingin dipandang sebagai seseorang.

Pelakuan membandingkan yang dilakukan orang terdekatnya itu membuat Ceria akhrinya merasa tertekan dengan pola asuh yang diterapkan. Dorongan atau tekanan yang dijalankan pada diri Ceria akhirnya menumbukan rasa dendam yang selalu ingin ia lampiaskan pada diri seorang Reina. Seorang yang dalam konteks ini, sama sekali tidak bersalah. Namun representasi diri Reina membuat Ceria menjadi sosok yang tidak lebih baik di hadapan orang tuanya.  Penggambaran Ceria menjadi sosok pendendam ditunjukkan melalui kutipan berikut.

Ceria diam. Menyipitkan kedua matanya. Bagian mana dari perlakuannya yang tidak sopan? Melempar buku ke atas meja Reina begitu saja? Reina lagi, Reina lagi! Semua orang selalu berpihak padanya.

Sejalan dengan perkembangan emosi remaja menurut Sumintro Adam (2012: 106) bahwa perkembangan remaja yang berada pada lingkup kurang kondusif akan menunjukkan tingkah laku agresif dan lari dari kenyataan (regresif). Dengan demikian bahwa pengaruh lingkungan amat berarti dalam menentukan perkembangan emosi seorang anak.

Lingkungan yang tidak kondusif pada diri Ceria membuat ia memiliki perilaku yang cenderung agresif dan mengarah pada menutup diri atas kenyataan. Meski dalam dadanya penuh amarah, namun Ceria tumbuh menjadi seorang pribadi yang serba tertutup. Berbagai hal yang selama ini dicerca dari pembicaraan orang tuanya malah membuat Ceria semakin menjauh dari lingkungan dan kenyatataan. Penggambaran Ceria sebagai sosok tertutup ditunjukkan melalui kutipan berikut.

“Ada apa, sih, dengan kamu dan orang-orang disekitarmu? Di kelas, kamu duduk sendiri, mengerjakan tugas sendiri. kamu juga nggak pernah ke kanting bareng teman yang lain. sekarang, kamu bersikap seolah tempat ini adalah milikmu sendiri. kamu kayak orang yang nggak butuh bersosialisasi. Sebenarnya ada apa dengan kamu, Ceria? Sebenarnya ada apa dengan kamu, Ceria?” tanpa diminta Ceria, Doni langsung kembali mencerocos. Bedanya, kali ini nada suaranya terdengar lembuat dan melunak, juga...tulus.”

Menjadi sosok yang selalu dibandingkan-bandingkan memang bukan permintaan siapa pun. Setiap orang bertumbuh dan berkembang dengan kemampuan sendiri-sendiri. manusia yang pada dasarnya unik akan meraih setiap versi terbaik dalam dirinya, tanpa perlu perbandingan yang menyudutkan.

2.3. Sikap Menutup Diri Anak dari Orang Tua

Tidak sedikit anak yang akhrinya menutup diri dari orang tua. Tidak berani sekadar mengutarakan kegiatan-kegiatan di sekolah. Sikap tidak terbuka anak kepada orang tuanya dapat dipicu dari perlakuan yang sebelumnya dilakukan orang tua itu sendiri. Tekanan dalam pola asuh (push parenting) membuat anak cenderung khawatir dengan segala kemungkinan yang akan diterima bila terlalu banyak menyampaikan suatu hal pada orang tua.

Push parenting yang dialkukan baik dalam bentuk verbal maupun nonverbal yang tanpa disadari telah menyempitkan keleluasaan bagi anak untuk sekadar menyampaikan hal-hal kecil dalam dirinya pada orang tuanya. Sikap menutup diri ini muncul dari timbulnya ketidakpercayaan diri atas konsep negatif dalam diri dan tidak percaya atas kemampuannya (Tringasti dan Meifiani, 2014: 8). Dengan itu pula tanpa menutup kemungkinan, bahwa hal demikian itu akan muncul paling utama pada lingkungan keluarga. Seperti halnya yang disampaikan Rahman (2002: 38) dikutip dalam (2014: 8) sebagai berikut.  

Lingkungan yang dialami anak dalam berinteraksi dengan anggota keluarga, baik interaksi secara langsung maupun tidak langsung. Suasana keluarga akan berpengaruh bagi perkembangan kepribadian anak. Peserta didik yang belajar akan menerima pengaruh dari keluarga berupa cara orang tua mendidik, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah, dan keadaan ekonomi keluarga.

Dalam konteks novel ini, tokoh Ceria mendapat pola push parenting yang begitu kuat dari orang tuanya. Lingkungan interaksi antar anggota keluarga mendapat mengekangan dan pertentangan. Sehingga yang dapat dimaknai bahwa Ceria jauh lebih terbuka pada kakak laki-lakinya ketimbang ibu yang notabene memiliki kedekatan emosioal yang lebih bagi anak perempuannya. Kakanya jauh lebih memahami kebutuhan dan keinginan adiknya. Hal ini dapat disimak dalam kutipan dialog antara Farhan (kakak Ceria) dan Ceria.

Mata Farhan melebar mendengar kalimat Ceria. Belum sempat menanggapi, adiknya sudah lebih dulu melanjutkan, “Tapi Abang jangan bilang Mama, ya. Please”.

Kemuculan sikap menutup diri Ceria muncul atas perilaku mamanya yang kerap menyepelekan kemampuan Ceria. Padahal remaja seusia Ceria memerlukan kebutuhan yang perlu dipenuhi, salah duanya yaitu kebutuhan mendapatkan status dan kebutuhan diakrabi.  Dalam pandangan Elida Prayitno dalam (Yusri dan Jasmienti, 2017: 18 ) kebutuhan akan status membuat remaja merasa berguna dan bangga akan dirinya. Sedangkan kebutuhan diakrabi yaitu remaja butuh didengarkan kebutuhan dan permasalahannya. Sehingga jika jika hal itu dapat terealisasi remaja merasa lebih merasa dihargai dan bahagia.

Kebutuhan itu tidak dapat diperoleh Ceria dari sosok mamanya. Selama ini mamanya hanya berfokus mendorong Ceria menjadi orang lain. tokoh Mama digambarkan sebagai sosok yang tidak pernah mendengar anaknya. Sehingga Ceria merasa bahwa diam adalah langkah yang lebih baik. Penggambarkan mama yang kerap mensalahartikan dorongan bagi anaknya, ditunjukkan melalui kutipan berikut.  

“Farhan, menguasai Matematika, Fisika, dan Kimia itu soal pemahaman, sementara Biologi di SMA itu lebih ke hafalan. Kalah Bahasa Inggris, sih semua orng juga bisa. Lihat tuh di Teletubbiesm anak balita sudah jago cas cis cus berbahasa Inggris,” cerocos Mama panjang lebar disertai tawa, seolah yang dilontarkannya barusan lagi-lagi adalah sebuah lelucon.

Maka, Ceria memutuskan Mama tidak perlu tahu kalau nilai-nilai UTS sudah dibagikan. Ceria hanya perlu menjawab seadanya jika mama bertanya

2.4. Menekankan Egoisme

Push parenting pada dasarnya muncul dari ego pribadi orang tua. Push parenting berusaha menekankan keinginan pribadi yang berakibat pada mentalitas anak. Anak yang kerap kali ditekan dengan ucapan yang menyakitkan, penghinaan verbal membuat psikis anak terganggu dan terbebani.

Egois dalam pandangan (Tohirin dikutip dalam Hasanuddin, 2019: 27) terbentuk atas ciri pribadi yang hanya fokus pada sudut pandangnya sendiri dan hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Fokus pada sudut pandang sendiri berakibat pada tidak sulitnya melihat sudut pandang orang lain dan selalu berusaha agar orang lain menuruti kemauannya. Orang yang memiliki sifat egois tidak mengenal istilah pengorbanan karena setiap yang dikerjakann tidak pernah memandang kepentingan orang lain.

Sejak awal Ceria memang menjadi korban egosime mamanya.Tidak sekalipun Ceria mendapat kesempatan mengutarakan apa yang sebenarnya ingin ia jalani. Ia malah menjadi terobsesi atas ambisi orang tuanya sendiri.  Penyebab dari sikap egoisme akan memunculkan sikap takut kehilangan sesuatu yang telah menjadi hak dan miliknya (Hasanuddin, 2019: 27).Dalam konteks novel ini, sifat ego yang ditunjukkan mama Ceria berupa tuturan yang disematkan untuk anaknya, seperti pada dua kutipan berikut.

“Seharusnya Matematika dan IPA-nya juga sepuluh, dong. Kayak kamu selama ini. Kayak Reina. Ceria masih kurang belajar. Ya, kan, Pa”

 “Harusnya kamu belajar sunguh-sungguh. Ini belum UN, lho, Ceria. Kalau sampai UN Matematia dan eksakta lainmu nggak lulus, duh...”

Beberapa kali ujaran yang disampaikan mamanya malah mengarah pada sindiran yang semakin menyudutkan Ceria. Hal demikian ditunjukkan pada dua kutipan berikut.

Mama muncul dari dapur, sudah mengenakan pakaian mengajarnya, membawakan kopi untuk Papa. “Bukan buru-buru, tapi harus dipikirkan dari sekarang,” timpal Mama. Sementara Papa menyesap kopi sambil mengangguk menyetujui. “Kalau baru mau milih pas udah mau lulus, salah-salah nanti malah milihnya ngasal”

Sambil menghela napas, Mama menggigit lagi roti di tangannya dan berkata hampir tidak terdengar, “Bisa aja, sih. Tapi kalau kamu tanya Mama, yang banyak hitungan-hitungannya itu lebih spesial. Nggak sembarang orang bisa, kan?”

Sikap mementingkan diri sendiri dalam bergumentasi dan berdiksusi memang berdampak atas pilihan Ceria. Ceria harus mengurungkan keinginan demi menuruti ego mamanya. Perlakuan tersebut ditunjukkan melalui kutipan berikut.

“Tapi dia bukan Mama, asal Mama dan Papa tahu, Ceria nggak ingin jadi anak MIPA. Dari awal penjurusan kelas bahkan sebenarnya Ceria maunya masuk Bahasa! Sahut Farhan nyaris berteriak.

Mama menghela napas, lantas bergumam, “Terserah kalian saja,” lalu beranjak dari duduknya. Meninggalkan Papa dan Ceria berdua dalam keheningan. Ceria menatap Papa nelangsa.

2.5. Ucapan Positif Berdampak Negatif (Toxic Positivty)

Toxic Positivity mengambarkan paradoks yang sangat menghkawatirkan. Sering diartikan sebagai sesuatu yang baik namun dampak yang dihasilkan berbanding terbalik. Toxic Positivity dimaknai sebagai pola pemikiran untuk berpikir dan menerima hal-hal positif yang dihadapkan pada kondisi yang mengarah pada emosi negatif (Dewi, 2020). Demikian itu menjadi dua hal yang berbeda.

Namun pada realistas terkadang ujuran muncul adalah kata-kata yang sifatnya memberi empati dan dorongan pada orang lain, namun hal demikian malah berdampak kurang baik bagi penerima ujaran.  Natalie Datillo (dikutip dalam Soerjoatmodjo, 2020) seorang psikolog asal Amerika Serikat memberikan pandangan bahwa ketika ucapan peyemangat diujarkan paksa kepada seorang yang sebenarnya tidak mengininkan kata-kata tersebut, wajah jika kata-kata tersebut malah membuat orang tersebut enggan menerimanya.

Dalam novel ini, banyak sekali ujaran positif yang diutarakan mama Ceria namun hal itu malah berdampak tidak baik bagi Ceria. Ceria merasa setiap yang diungkapkan mamanya adalah sebuah beban. Memang terkadang apa yang disampaikan itu benar namun bila menilik dari sisi Ceria hal itu sama kalian tidak merepresentasi dirinya. Banyak hal yang malah membuat Ceria semakin terpuruk dengan apa yang diujarkan oleh mamanya. Seperti halnya pada kutipan di bawah ini.

Mama langsung tertawa bahagia.“Oh iya, ya. Nah...gitu,dong, Cer. Belajar walau nggak ada Farhan. Jadi, kamu bisa lebih cepat ingat,” kaya Mama. Ia tidak peduli wajah Ceria menyiratkan sebaliknya. Kemudian sambil mencubit pipi Ceria dengan lembut, Mama berkata, “Ya udah, belajar aja dulu kalau gitu. Kalau lapar, kamu makan aja, ya, Ceria.”

“Sayang, ya, Cer...padahal kalau kamu lebih pintar dikit aja Matematikanya-nya dari temanmu itu, kamu pasti bisa masuk tiga besar.”

Stephanie Preson dan Heather Monroe (dikutip dalam Soerjoatmodjo, 2020) Ucapan serba positif membuat kita tidak melihat kenyataan sebenarnya. Toxic positivity membuat emosi manusia menjadi tereduksi sehingga menggangu kesehatan mental. Ceria merasakan betul hal-hal yang secara tersurat menjadi hal yang positif namun hal itu pula yang membuat Ceria merasa hal itu mengganggu mentalitasnya sebagai seorang remaja yang butuh dukungan sesungguhnya. Toxic positivity ditunjukka pada kutipan di bawah ini.

Mama yang pertama kali bersuara, “Sekarang, kita kembalian ke Ceria saja. Bagaimanapun, ini hidup Ceria. Ini masa depan Ceria, kamu nggak bisa memaksa dia, Farhan.” Kalimat Mama membuat Farhan melongo tidak percaya. Mama berkata begitu? Setalah selama ini merecoki Ceria dengan Matematika, MIPA, dan semua hitung-hitungan itu? Setelah selama ini beliau membanding-bandigkan Ceria dengan semua orang?

Sepanjang perjalanan menuju bandari Tjilik Riwut, ia dan Mama saling berdiam diri. Papa lebih mudah merelakan keputusan Ceria, tapi Mama tidak. Bahkan meski akhirnya mengiyakan pun, mereka tetap punya jarak yang belum bisa dipebaiki. Mama sangat berharap Ceria menjadi seperti dirinya, dan itulah yang membuat Mama sangat kecewa.

3.      Penutup

Push parenting memiliki pola yang begitu khas yakni penggambaran orang tua yang banyak menuntut dan ambisius. Menurut Elizabet B Hurlock dalam (Muslima, 2015:88) ambisi orang tua terhadap anak seringkali menunjukkan sikap yang tidak realistis. Munculnya rasa ambisius orang tua dipengaruhi tidak tercapainya ambisi pada diri orang tua itu sendiri dan hastrat menaikkan status sosial anak. Kemunculan rasa mendorong anak menjadi pribadi yang lebih di atas anak lain memicu beban moril bagi anak. Anak akan merasa adanya tekanan dari orang terdekat yang semestinya menjadi pendukung bagi perkembangan mereka

Meskipun push parenting belum sepenuhnya dapat dikenali karena diiring dengan idealisme dan toxic postivity nyatanya dampak terhadap anak sangat signifikan. Anak akan menutup diri, mudah tersinggung, sampai berpikiran berpikiran negatif terhadap orang lain dan lingkungan, bersikap agresif, merasa minder dan tidak percaya atas dirinya sendiri.

Dalam novel Happiness karya Fakhrisna Amalia begitu kentara bagaimana pola push parenting yang dilakukan oleh mamanya yang notabene adalah figur yang memiliki pengaruh besar bagi anaknya. Banyak perlakuan yang diterima tokoh utama yang menjadi ‘korban’ atas pola asuh yang sebenarnya di dasari atas ambisi pribadi, egoisme, dan keinginan untuk selalu membandingkan. Hingga puncaknya membuat mental anak menjadi terganggu sebab harus  hidup dalam toxic positivity yang membuat anak menjadi sosok tertutup dan terbebani.

4.      Daftar Pustaka

Adam, Sumitro (2012) Hubungan antara Kematangan Emosi dengan Problem Focused Coping Mahasiswa di Ma’had Putra Sunan Ampel al’Ali UIN Maliki Malang. Undergraduate Thesis, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. http://etheses.uin-malang.ac.id/2609/. Diakses 11 Januari 2021.

Devi W, Cici (2012). Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kecerdasan Sosial Pada Siswa Kelas VI SD Jatimulyo 01. Undergraduate Tesis, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 11. http://etheses.uin-malang.ac.id/2225/. Diakses 11 Januari 2021.

Dewi, Hayuing Purnama (2020). Toxic Positivity: Ucapan Positif yang Berdampak Negatif. Universitas Surabaya. https://www.ubaya.ac.id/2018/content/news_detail/2838/Toxic-Positivity--Ucapan-Positif-yang-Berdampak-Negatif.html.  Diakses 12 Januari 2021.

Fauzi, M.R (2015).  Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Motivasi Anak Berolahraga di Akademi Futsal Maestro Bandung. Repository Universitas Pendidikan Indonesia, 10. http://repository.upi.edu/20820/. Diakses 12 Januari 2021.

Hasanuddin (2019) Pengaruh Pemberian Konseling Pribadi Terhadap Kemampuan Berargumetasi dalam Berdiksusi Pada Siswa yang Introver di SMA Negeri 1 Barru. Jurnal Bimbingan dan Konseling. https://jurnal.stkipmb.ac.id/index.php/bkmb/article/view/26/19. Diakes 11 Januari 2021

Hidayati, L. (2016). Stop! Push-Parenting: Shoot Parent’s Ambition as Kind of Psychological Abuse in Parenting. Indonesian Journal of Islamic Early Childhood Education. http://www.journal.pps-pgra.org/index.php/Ijiece/article/view/16. Diakses 12 Januari 2021.

Latipah, Eva. (2009). Strategi Pengenalan Potensi Anak. http://digilib.uin-suka.ac.id/8145/1/EVA%20LATIPAH%20STRATEGI%20PENGENALAN%20POTENSI%20ANAK.pdf. Semantics Scholar. Diakses 11 Januari 2021

Muslima. (2015). Pola Asuh Orang Tua terhadap Kecerdasan Finansial Anak. Jurnal Ar-Rainry, 88. https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/equality/article/view/781/611. Diakses 12 Januari 2021.

Muthmainnah. (2012). Kontribusi Pola Asuh Orang Tua dalam Pendidikan Karakter. Jurnal Universitas Negeri Yogyakarta, 9. https://journal.uny.ac.id/index.php/diklus/article/view/3140. Diakses 12 Januari 2021.

Nuraini, C., S, V., Damaianti, & Chairuddin. (2019). Tingkat Push Parentin pada Pola Asuh Keluarga di Karawang dalam Penerapan Family Literacy Guna Mengembangkan Kemampuan Membaca dan Menulis Anak. Seminar Internasional Riksa Bahasa XIII, 1148. http://proceedings.upi.edu/index.php/riksabahasa/article/view/992. Diakses 12 Januari 2021.

Rusdi. Filsafat Idealisme: Impliksinya dalam Pendidikan. Dinamika Ilmu, 238. http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/LAINNYA/SRI_MARHANAH/catatan_kuliah_FILSAFAT_ILMU_idealisme.pdf. Diakses 12 Januari 2021.

Soerjoatmodjo, Gita W Laksmini (2020).  Manakalah Positif Justru Negatif. Research Gate. https://www.researchgate.net/publication/344519335_Manakala_Positif_Justru_Negatif. Diakses 2 Januari 2021

Tisngati, Urip dan Meifiani, Nely Indra (2014). Pengaruh Kepercayaan Diri dan Pola Asuh Orang Tua pada Mata Kuliah Teori Bilangan terhadap Prestasi Belajar. Jurnal Derivat. https://journal.upy.ac.id/index.php/derivat/article/view/109. Diakses 11 Januari 2021

Yusri, Fadhilla dan Jasmienti (2017). Pengaruh Pemenuhan Kebutuhan Remaja Terhadap Tindakan Bully Siswa di PKBM Kasih Bundo Kota Bukittinngi. Jurnal At-Taujih, 18. https://www.ejournal.uinib.ac.id/jurnal/index.php/attaujih/article/view/529. Diakses 11 Januari 2021.

 

Etika dalam Menyimak

"Malu bertanya sesat di jalan”   sadar atau pun tidak ungkapan ini telah banyak mempengaruhi pemikiran masyarakat saat ini. Bertanya se...