Pendahuluan
Peran orang tua dalam membesarkan, melindungi,
dan mendidik anak-anaknya bukan perkara yang mudah. Orang tua memiliki andil
besar dalam membentuk jati diri dan kepribadian anak-anaknya. Dalam hal
demikian, erat kaitannya dengan pola asuh yang diterapkan orang tua dalam
membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Pola
asuh setiap orang tua terhadap anaknya tentu akan berbeda-beda. Beragam cara
pengasuhan tersebut pada dasarnya terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu demokratis,
permisif dan otoriter (Nurani, S, Damaianti, dan Chairuddin, 2019: 1148). Ketiga
kelompok pengasuhan tersebut memiliki dampak berupa kelebihan dan kekurangan
masing-masing.
Dari ketiga kelompok pengasuhan tersebut,
masih ada pengerucutan yang memfokuskan dari pola asuh orang tua terhadap
anak-anaknya. Salah satunya pola asuh push parenting. Pada pola push
parenting sikap orang tua memiliki pola yang begitu khas yakni penggambaran
orang tua yang banyak menuntut dan ambisius. Menurut Elizabet B Hurlock dalam
(Muslima, 2015:88) ambisi orang tua terhadap anak seringkali menunjukkan sikap
yang tidak realistis. Munculnya rasa ambisius orang tua dipengaruhi tidak
tercapainya ambisi pada diri orang tua itu sendiri dan hastrat menaikkan status
sosial anak.
Seperti halnya pola-pola asuh lainnya, dalam
menerapkan push parenting orang tua memiliki pertimbangan tersendiri. Push
parenting menekankan pola pengasuhan orang tua agar anaknya menjadi sosok
yang sempurna. Pola asuh ini menekankan seorang anak menjadi seseorang yang
lebih dari orang tuanya. Orang tua dengan pola asuh push parenting memiliki
anggapan bahwa keberhasilan anaknya akan bergantung penuh dari orangtuanya.
Padahal, orang tua belum dapat dipastikan mengenali setiap potensi yang ada
pada diri anaknya. Kadang kala kemunculan rasa untuk mendorong anak menjadi
pribadi yang lebih di atas anak-anak lain, malah memicu beban moril bagi anak.
Pemicu kemunculan push parenting
dilatarbelakangi kekhawatiran mendalam bilamana anak-anaknya tidak dapat
menggapai prestasi melebihi orang tua, serta rasa antisipasi di masa depan
terkait nasib anaknya. Bila melihat dari sisi positif maka tidak ayal bahwa
dorongan tersebut dapat terlihat baik. Orang tua juga tidak dapat sepenuhnya
memberikan kebebasan bagi anak sebab akan berakibat pada salah arah. Terkadang
niat dan maksud baik dari push parenting diterapkan secara berlebihan
yang akhirnya memicu kekeliriuan. Pada push parenting orang tua mengambil
andil yang cukup besar yang sering kali tidak mempertimbangkan psikolgis anak.
Acapkali pola asuh yang digunakan malah memperkeruh keadaan. Anak merasa berada
pada lingkungan yang penuh ekspektasi dan intimidasi. Hal demikian yang
akhirnya menimbulkan dampak negatif terhadap anak, salah satunya rasa tertekan pada
diri anak.
Menurut hasil penelitian Rohner, bahwa pola
asuh yang menempatkan anak menjadi sosok yang diterima membuat anak menjadi
sosok yang merasa dilindungi, disayang, dianggap berharga, dan didukung penuh
oleh orang tuanya akan menunjukkan pola asuh kondusif. Hal demikian sekaligus
berdampak pada pembentukan kepribadian anak menjadi individu yang peduli
sosial, percaya diri, mandiri. Sedangkan pola asuh yang menempatkan anak
menjadi sosok yang menolak membuat anak akan merasa tidak diterima, dikecilkan,
tidak diterima, tidak disayang, dikecilkan, bahkan dibenci oleh orang tuanya. Dampak
dari pola asuh tersebut juga diiringi dengan sikap anak yang mudah tersinggung,
berpikiran negatif terhadap orang lain dan lingkungan, bersikap agresif, merasa
minder dan tidak percaya atas dirinya sendiri (Muthainnah, 2019: 9).
Orang tua sejatinya tidak dapat menentukan
sepenuhnya jalan hidup anak, apalagi sampai mengorbankan kebahagiaan anaknya. Perlu
disadari orang tua dan anak memiliki hak dan kewajiban tersendiri. Orang tua
berkewajiban mendengarkan kebutuhan anak dan memberi kesempatan anak untuk
mengembangkan kemampuannya. Namun, bukan berarti orang tua melepas tanggung
jawab orang tua terhadap anaknya. Orang tua harus mengiringi setiap langkah
dari pilihan anaknya dengan menyeimbangkan hak dan kewajiban atas anak dan
orang tua.
Sejalan dengan pola push parenting tersebut,
sebuah novel berjudul Happiness karya Fakhrisna Amalia memberikan
gambaran kehadiran push parenting yang memberikan dampak terhadap
psikologis tokoh utama yang masih dalam tahap pencarian jati diri. Banyak ditunjukkan
pergolakan antara tokoh utama dan orang tuanya.
2. Pola Asuh Push Parenting
Pola asuh dimaknai sebagai perlakuan orang tua atas anaknya yang berwujud
melindungi, menjaga, dan mendidik anaknya. Dalam epistimologi pola asuh terdiri
atas dua makna, pola berarti cara kerja dan asuh berarti menjaga, melindungi,
dan mendidik anak. Dengan demikian,
dalam pola asuh akan selalu berkenaan dengan peran orang tua sebagai sentral
pendidik bagi anaknya. Pola asuh mencakup strategi yang bermacam-macam yang
memiliki peranan dalam mendorong anaknya mencapai tujuan yang ingin dicapai.
Tujuan tersebut antara lain berupa pengetahuan, moral, dan standar perilaku
yang harus dimiliki anak sebagai suatu individu (Mussen, dikutip dalam Devi, 2012:
11)
Pola asuh orang tua adalah sikap dan cara
orang tua dalam mempersiapkan anggota keluarga yang lebih mudah termasuk anak
supaya dapat mengambil keputusan sendiri dan bertindak sendiri sehingga
mengalami perubahan dari keadaan bergantung kepada orang tua menjadi pribadi
yang mandiri (Gunarsa Singgih, dikutip dalam Fauzi, 2015: 10).
Pada dasarnya pola pengasuhan orang tua
terhadap anak terbagi dalam tiga kelompok yaitu pola asuh demokratis, permisif,
dan otoriter (Nurani, S, Damaianti, dan Chairuddin, 2019: 1148). Pola asuh
demokratis ditunjukkan dengan perlakukan seimbang orang tua dalam mendorong
dalam mengendalikan anaknya. Begitu halnya dengan pola asuh permisif, pola ini
ditunjukkan dengan perlakuan orang tua yang memberikan kebebasan penuh anaknya
untuk melakukan hal yang mereka sukai. Sedangkan pola asuh yang terakhir, yaitu
pola asuh otoriter. Pola asuh ini dapat dipandang sebagai pola asuh yang paling
mutlak. Dalam pola asuh ini orang tua akan memberikan aturan yang tidak dapat
diganggu gugat dan hukuman atas kesalahan yang dilakukan anaknya.
Dari ketiga pola asuh tersebut, terdapat pola
asuh yang lebih difokuskan yakni salah satunya push Parenting. Push
parenting merupakan istilah yang merujuk pada pola asuh yang menekan hak kepada
seorang anak, pola asuh yang penuh dengan tuntutan, menetapkan target dan
standar yang memungkinkan melampaui batas fisik maupun psikologis anak.
Kekhawatiran akan push parenting yaitu
anak menjadi korban atas ambisi orang tua, sehingga berdampak pada mentalitas
anak. Anak yang tumbuh pada pola push parenting akan terganggu
perkembangan emosional dan sosialnya, yang memungkinkan anak menjadi rendah
diri, berorietasi akan dirinya negatif, serta yang paling mengkhawatirkan ialah
anak kehilangan kesempatan untuk mengembangkan jiwa yang mandiri dan
menyelesaikan masalah (Hidayati, 2016).
Karya sastra yang mengangkat pola asuh orang
tua (parenting) sudah awam di Indonesia. Penggambaran kehidupan keluarga
yang penuh intrik terhadap anak-anaknya menjadi representasi pola-pola asuh
yang memang muncul di masyarakat. Melalui Novel Happiness mencoba
memberikan cerminan dari pola push parenting yang dialami Ceria selaku
tokoh utamanya.
Pada pembahasan ini, akan dijabarkan dalam
beberapa tahapan dalam mempermudah pembaca. Tafsir atas karya sastra dibagi
menjadi beberapa sub bab yang menjadikan alur dari awal mula pola push
parenting hingga akhir. Berikut adalah penjabaran yang lebih jelas.
2.1. Antara Idealisme
dan Ambisi Orang Tua
Pembahasan terkait novel akan menitiberatkan
lingkup idealis orang tua yang tanpa disadari telah memunculkan sebuah dorongan
yang baru. Sebagaimana tokoh Ceria Dandelia harus berhadapan pada perspektif
orang tua yang telampau idealis.
Idealisme dapat dipahami sebagai bagian dari
aliran filsafat yang mempunyai pandangan bahwa hakikat segala sesuatu terdapat
pada tataran ide. Realitas dalam wujud sebenarnya lebih dulu dipahami dalam
realitas ide dan bukan pada yang sifatnya materi (Rusdi).
Idealis yang terbangun dalam novel ini
difokuskan pada ranah pendidikan yang merupakan suatu identitas sosial
yang terbangun pada keluarga Ceria. Pandangan
awal idealis orang tua ditujukkan pada sosok ibu dari tokoh utama, dengan
panggilan Mama. Idealis Mama dari Ceria tersurat melalui kutipan dialog sebagai
berikut.
“Masak anak dosen Matematika ngga masuk IPA?
Coba kamu lihat Reina. Nilai metematikanya dari dulu selalu dari bagus dari
kamu. Kamu sebenarnya bisa, kok. Cuma malas saja.”
Berdasar atas kutipan dialog, sosok orang tua
dari Ceria terutama mamanya memiliki pemikiran bahwa seorang anak harus serupa
orang tuanya. Tidak peduli kesempatan apa yang berusaha dicapai seorang
anaknya. Idealisme akan pendidikan telah memberikan keterbatasan ruang bagi
diri Ceria. Hidup di antara keluarga dengan pengetahuan mumpuni membuanya harus
dapat menjadi setara di antara meraka. Ceria harus dapat memiliki karir
cemerlang layaknya seorang ibu yang berprofesi dosen dan tutor eksakata, bapak
yang merupakan seorang akuntan ternama, dan seorang kakak yang menempuh kuliah
di Arsitektur
Idealisme ini yang pada akhirnya membuat Ceria
terbelenggu dalam lingkar ambisi orang tuanya. Menurut Elizabet B Hurlock dalam
(Muslima, 2015:88) ambisi orang tua terhadap anak seringkali menunjukkan sikap
yang tidak realistis. Kendati demikian, ada seorang kakak yang berusaha menolak
segala ambisi yang terbangun dalam keluarga mereka. Berikut adalah kutipan yang
mengisyaratkan penolakan atas ambisi mamanya.
Ceria punya bidangnya sendiri. Ia pandai
bicara. Ia pandai dalam menguasai bahasa. Ia pandai mengemukakan gagasannya. Ia
adalah pembicara yang baik dan persuasif jika saja hidup tidak mengajirinya
untuk tumbuh dengan menganggap orang lain menjadi sebagai saingan. Ia tumbuh
dengan tuntutan dari standar Mama dan Papa yang bukan menjadi kemampuannya. Ia
tumbuh menjadi sosok yang membenci orang lain yang bisa menggapai apa yang
tidak bisa digapainya.
Ceria yang ingin tumbuh menjadi pribadi yang
berbeda dari keluarganya akhirnya malah terjebak pada situasi yang membuatnya
menerima itu semua. Terlepas dari itu adalah pilihan terbaik atau tidak bagi
dirinya.
2.2. Membandingkan
Anak dengan Anak Lain
Membandingkan anak-anak bukan lagi suatu hal
baru dalam lingkungan masyarakat. Bahwa terkadang muncul asumsi bahwa motivasi
terbaik adalah dengan membandingkan dua hal yang pada dasarnya tidak seimabang.
Tolok ukur yang digunakan dalam perbandingan kadang kala tumpang tindih. Begitu
pula halnya bila membahas tentang membandingkan anak.
Anak yang pada dasar fitranya seperti manusia
lain yang pasti berbeda bukanlah figur yang dapat disamaratakan. Dalam bidang
pendidikan, mengenali potensi anak adalah suatu hal yang penting, hal demikian
dapat diketahui melalui perbedaan kamampuan anak (Latipah, 2099: 106).
Perlakuan membanding-bandingkan yang dilakukan
orang tua dapat sepenuhnya dirasakan pada diri seorang Ceria. Ceria yang tidak
secerdas Reina dalam bidang Matematika malah menjadi suatu hal yang dipandang
serius bagi mama Ceria. Sebagai seorang dosen Matematika, mamanya merasa sudah
selayaknya Ceria berada di atas Reina ataupun diminalkan setara dengan Reina.
Perlakuan membandingkan yang dilakukan mama Ceria di dapati pada kutipan
berikut.
“Ah, si Ceria ini sih nggak ada apa-apanya
kalau dibandingkan sama Nak Reina. Semua orang juga bisa ikut studi banding.”
Mama mengucapkan hal itu seolah-olah itu adalah lelucon yang semua orang akan
senang hati ikut tertawa.
Selain dengan teman sebanyanya, Ceria juga
mendapat tekanan atas prestasi Kakaknya. Ceria yang dianggap tidak lebih dari
dari yang didapat kakaknya. Kakanya yang juga bergelut pada bidang eksakta
membuat Ceria dianggap tidak lebih baik, sebab nilai Matematika Ceria dapat
dikatakan sering mengecewakan. Hal demikian ditujukkan melalui kutipan berikut.
“Iya, sih...” sahut Mama lagi, “tapi kalau kau
aja bisa dapat peringkat satu, kenapa Ceria nggak bisa?”
Perbandingan yang didasarkan ambisi dan
egoisme itu ditimpakan pada Ceria. Seorang gadis remaja yang dipaksa memahami
sebuah strata sosial. Sebuah tolak ukur yang mesti tercapai bila ingin
dipandang sebagai seseorang.
Pelakuan membandingkan yang dilakukan orang
terdekatnya itu membuat Ceria akhrinya merasa tertekan dengan pola asuh yang
diterapkan. Dorongan atau tekanan yang dijalankan pada diri Ceria akhirnya
menumbukan rasa dendam yang selalu ingin ia lampiaskan pada diri seorang Reina.
Seorang yang dalam konteks ini, sama sekali tidak bersalah. Namun representasi
diri Reina membuat Ceria menjadi sosok yang tidak lebih baik di hadapan orang
tuanya. Penggambaran Ceria menjadi sosok
pendendam ditunjukkan melalui kutipan berikut.
Ceria diam. Menyipitkan kedua matanya. Bagian
mana dari perlakuannya yang tidak sopan? Melempar buku ke atas meja Reina
begitu saja? Reina lagi, Reina lagi! Semua orang selalu berpihak padanya.
Sejalan dengan perkembangan emosi remaja
menurut Sumintro Adam (2012: 106) bahwa perkembangan remaja yang berada pada
lingkup kurang kondusif akan menunjukkan tingkah laku agresif dan lari dari kenyataan
(regresif). Dengan demikian bahwa pengaruh lingkungan amat berarti dalam
menentukan perkembangan emosi seorang anak.
Lingkungan yang tidak kondusif pada diri Ceria
membuat ia memiliki perilaku yang cenderung agresif dan mengarah pada menutup
diri atas kenyataan. Meski dalam dadanya penuh amarah, namun Ceria tumbuh
menjadi seorang pribadi yang serba tertutup. Berbagai hal yang selama ini
dicerca dari pembicaraan orang tuanya malah membuat Ceria semakin menjauh dari
lingkungan dan kenyatataan. Penggambaran Ceria sebagai sosok tertutup
ditunjukkan melalui kutipan berikut.
“Ada apa, sih, dengan kamu dan orang-orang
disekitarmu? Di kelas, kamu duduk sendiri, mengerjakan tugas sendiri. kamu juga
nggak pernah ke kanting bareng teman yang lain. sekarang, kamu bersikap seolah
tempat ini adalah milikmu sendiri. kamu kayak orang yang nggak butuh
bersosialisasi. Sebenarnya ada apa dengan kamu, Ceria? Sebenarnya ada apa
dengan kamu, Ceria?” tanpa diminta Ceria, Doni langsung kembali mencerocos.
Bedanya, kali ini nada suaranya terdengar lembuat dan melunak, juga...tulus.”
Menjadi sosok yang selalu dibandingkan-bandingkan
memang bukan permintaan siapa pun. Setiap orang bertumbuh dan berkembang dengan
kemampuan sendiri-sendiri. manusia yang pada dasarnya unik akan meraih setiap
versi terbaik dalam dirinya, tanpa perlu perbandingan yang menyudutkan.
2.3. Sikap Menutup
Diri Anak dari Orang Tua
Tidak sedikit anak yang akhrinya menutup diri
dari orang tua. Tidak berani sekadar mengutarakan kegiatan-kegiatan di sekolah.
Sikap tidak terbuka anak kepada orang tuanya dapat dipicu dari perlakuan yang sebelumnya
dilakukan orang tua itu sendiri. Tekanan dalam pola asuh (push parenting)
membuat anak cenderung khawatir dengan segala kemungkinan yang akan diterima
bila terlalu banyak menyampaikan suatu hal pada orang tua.
Push parenting yang dialkukan baik dalam bentuk verbal
maupun nonverbal yang tanpa disadari telah menyempitkan keleluasaan bagi anak
untuk sekadar menyampaikan hal-hal kecil dalam dirinya pada orang tuanya. Sikap
menutup diri ini muncul dari timbulnya ketidakpercayaan diri atas konsep
negatif dalam diri dan tidak percaya atas kemampuannya (Tringasti dan Meifiani,
2014: 8). Dengan itu pula tanpa menutup kemungkinan, bahwa hal demikian itu
akan muncul paling utama pada lingkungan keluarga. Seperti halnya yang
disampaikan Rahman (2002: 38) dikutip dalam (2014: 8) sebagai berikut.
Lingkungan yang dialami anak dalam berinteraksi
dengan anggota keluarga, baik interaksi secara langsung maupun tidak langsung.
Suasana keluarga akan berpengaruh bagi perkembangan kepribadian anak. Peserta
didik yang belajar akan menerima pengaruh dari keluarga berupa cara orang tua
mendidik, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah, dan keadaan ekonomi
keluarga.
Dalam konteks novel ini, tokoh Ceria mendapat
pola push parenting yang begitu kuat dari orang tuanya. Lingkungan
interaksi antar anggota keluarga mendapat mengekangan dan pertentangan. Sehingga
yang dapat dimaknai bahwa Ceria jauh lebih terbuka pada kakak laki-lakinya
ketimbang ibu yang notabene memiliki kedekatan emosioal yang lebih bagi anak
perempuannya. Kakanya jauh lebih memahami kebutuhan dan keinginan adiknya. Hal
ini dapat disimak dalam kutipan dialog antara Farhan (kakak Ceria) dan Ceria.
Mata Farhan melebar mendengar kalimat Ceria. Belum
sempat menanggapi, adiknya sudah lebih dulu melanjutkan, “Tapi Abang jangan
bilang Mama, ya. Please”.
Kemuculan sikap menutup diri Ceria muncul atas
perilaku mamanya yang kerap menyepelekan kemampuan Ceria. Padahal remaja seusia
Ceria memerlukan kebutuhan yang perlu dipenuhi, salah duanya yaitu kebutuhan
mendapatkan status dan kebutuhan diakrabi.
Dalam pandangan Elida Prayitno dalam (Yusri dan Jasmienti, 2017: 18 )
kebutuhan akan status membuat remaja merasa berguna dan bangga akan dirinya.
Sedangkan kebutuhan diakrabi yaitu remaja butuh didengarkan kebutuhan dan
permasalahannya. Sehingga jika jika hal itu dapat terealisasi remaja merasa
lebih merasa dihargai dan bahagia.
Kebutuhan itu tidak dapat diperoleh Ceria dari
sosok mamanya. Selama ini mamanya hanya berfokus mendorong Ceria menjadi orang
lain. tokoh Mama digambarkan sebagai sosok yang tidak pernah mendengar anaknya.
Sehingga Ceria merasa bahwa diam adalah langkah yang lebih baik. Penggambarkan
mama yang kerap mensalahartikan dorongan bagi anaknya, ditunjukkan melalui
kutipan berikut.
“Farhan, menguasai Matematika, Fisika, dan
Kimia itu soal pemahaman, sementara Biologi di SMA itu lebih ke hafalan. Kalah
Bahasa Inggris, sih semua orng juga bisa. Lihat tuh di Teletubbiesm anak balita
sudah jago cas cis cus berbahasa Inggris,” cerocos Mama panjang lebar disertai
tawa, seolah yang dilontarkannya barusan lagi-lagi adalah sebuah lelucon.
Maka, Ceria memutuskan Mama tidak perlu tahu
kalau nilai-nilai UTS sudah dibagikan. Ceria hanya perlu menjawab seadanya jika
mama bertanya
2.4. Menekankan
Egoisme
Push parenting pada dasarnya muncul dari ego pribadi orang
tua. Push parenting berusaha menekankan keinginan pribadi yang berakibat pada
mentalitas anak. Anak yang kerap kali ditekan dengan ucapan yang menyakitkan,
penghinaan verbal membuat psikis anak terganggu dan terbebani.
Egois dalam pandangan (Tohirin dikutip dalam Hasanuddin,
2019: 27) terbentuk atas ciri pribadi yang hanya fokus pada sudut pandangnya
sendiri dan hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Fokus pada sudut pandang
sendiri berakibat pada tidak sulitnya melihat sudut pandang orang lain dan
selalu berusaha agar orang lain menuruti kemauannya. Orang yang memiliki sifat
egois tidak mengenal istilah pengorbanan karena setiap yang dikerjakann tidak
pernah memandang kepentingan orang lain.
Sejak awal Ceria memang menjadi korban egosime
mamanya.Tidak sekalipun Ceria mendapat kesempatan mengutarakan apa yang
sebenarnya ingin ia jalani. Ia malah menjadi terobsesi atas ambisi orang tuanya
sendiri. Penyebab dari sikap egoisme
akan memunculkan sikap takut kehilangan sesuatu yang telah menjadi hak dan
miliknya (Hasanuddin, 2019: 27).Dalam konteks novel ini, sifat ego yang
ditunjukkan mama Ceria berupa tuturan yang disematkan untuk anaknya, seperti
pada dua kutipan berikut.
“Seharusnya Matematika dan IPA-nya juga
sepuluh, dong. Kayak kamu selama ini. Kayak Reina. Ceria masih kurang belajar.
Ya, kan, Pa”
“Harusnya
kamu belajar sunguh-sungguh. Ini belum UN, lho, Ceria. Kalau sampai UN
Matematia dan eksakta lainmu nggak lulus, duh...”
Beberapa kali ujaran yang disampaikan mamanya
malah mengarah pada sindiran yang semakin menyudutkan Ceria. Hal demikian
ditunjukkan pada dua kutipan berikut.
Mama muncul dari dapur, sudah mengenakan
pakaian mengajarnya, membawakan kopi untuk Papa. “Bukan buru-buru, tapi harus
dipikirkan dari sekarang,” timpal Mama. Sementara Papa menyesap kopi sambil
mengangguk menyetujui. “Kalau baru mau milih pas udah mau lulus, salah-salah
nanti malah milihnya ngasal”
Sambil menghela napas, Mama menggigit lagi
roti di tangannya dan berkata hampir tidak terdengar, “Bisa aja, sih. Tapi
kalau kamu tanya Mama, yang banyak hitungan-hitungannya itu lebih spesial.
Nggak sembarang orang bisa, kan?”
Sikap mementingkan diri sendiri dalam
bergumentasi dan berdiksusi memang berdampak atas pilihan Ceria. Ceria harus
mengurungkan keinginan demi menuruti ego mamanya. Perlakuan tersebut
ditunjukkan melalui kutipan berikut.
“Tapi dia bukan Mama, asal Mama dan Papa tahu,
Ceria nggak ingin jadi anak MIPA. Dari awal penjurusan kelas bahkan sebenarnya
Ceria maunya masuk Bahasa! Sahut Farhan nyaris berteriak.
Mama menghela napas, lantas bergumam,
“Terserah kalian saja,” lalu beranjak dari duduknya. Meninggalkan Papa dan
Ceria berdua dalam keheningan. Ceria menatap Papa nelangsa.
2.5. Ucapan
Positif Berdampak Negatif (Toxic Positivty)
Toxic Positivity mengambarkan paradoks yang
sangat menghkawatirkan. Sering diartikan sebagai sesuatu yang baik namun dampak
yang dihasilkan berbanding terbalik. Toxic Positivity dimaknai sebagai pola
pemikiran untuk berpikir dan menerima hal-hal positif yang dihadapkan pada
kondisi yang mengarah pada emosi negatif (Dewi, 2020). Demikian itu menjadi dua
hal yang berbeda.
Namun pada realistas terkadang ujuran muncul
adalah kata-kata yang sifatnya memberi empati dan dorongan pada orang lain,
namun hal demikian malah berdampak kurang baik bagi penerima ujaran. Natalie Datillo (dikutip dalam Soerjoatmodjo,
2020) seorang psikolog asal Amerika Serikat memberikan pandangan bahwa ketika
ucapan peyemangat diujarkan paksa kepada seorang yang sebenarnya tidak
mengininkan kata-kata tersebut, wajah jika kata-kata tersebut malah membuat
orang tersebut enggan menerimanya.
Dalam novel ini, banyak sekali ujaran positif
yang diutarakan mama Ceria namun hal itu malah berdampak tidak baik bagi Ceria.
Ceria merasa setiap yang diungkapkan mamanya adalah sebuah beban. Memang
terkadang apa yang disampaikan itu benar namun bila menilik dari sisi Ceria hal
itu sama kalian tidak merepresentasi dirinya. Banyak hal yang malah membuat
Ceria semakin terpuruk dengan apa yang diujarkan oleh mamanya. Seperti halnya
pada kutipan di bawah ini.
Mama langsung tertawa bahagia.“Oh iya, ya.
Nah...gitu,dong, Cer. Belajar walau nggak ada Farhan. Jadi, kamu bisa lebih
cepat ingat,” kaya Mama. Ia tidak peduli wajah Ceria menyiratkan sebaliknya.
Kemudian sambil mencubit pipi Ceria dengan lembut, Mama berkata, “Ya udah,
belajar aja dulu kalau gitu. Kalau lapar, kamu makan aja, ya, Ceria.”
“Sayang, ya, Cer...padahal kalau kamu lebih
pintar dikit aja Matematikanya-nya dari temanmu itu, kamu pasti bisa masuk tiga
besar.”
Stephanie Preson dan Heather Monroe (dikutip
dalam Soerjoatmodjo, 2020) Ucapan serba positif membuat kita tidak melihat
kenyataan sebenarnya. Toxic positivity membuat emosi manusia menjadi
tereduksi sehingga menggangu kesehatan mental. Ceria merasakan betul hal-hal
yang secara tersurat menjadi hal yang positif namun hal itu pula yang membuat
Ceria merasa hal itu mengganggu mentalitasnya sebagai seorang remaja yang butuh
dukungan sesungguhnya. Toxic positivity ditunjukka pada kutipan di bawah
ini.
Mama yang pertama kali bersuara, “Sekarang,
kita kembalian ke Ceria saja. Bagaimanapun, ini hidup Ceria. Ini masa depan
Ceria, kamu nggak bisa memaksa dia, Farhan.” Kalimat Mama membuat Farhan
melongo tidak percaya. Mama berkata begitu? Setalah selama ini merecoki Ceria
dengan Matematika, MIPA, dan semua hitung-hitungan itu? Setelah selama ini
beliau membanding-bandigkan Ceria dengan semua orang?
Sepanjang perjalanan menuju bandari Tjilik
Riwut, ia dan Mama saling berdiam diri. Papa lebih mudah merelakan keputusan
Ceria, tapi Mama tidak. Bahkan meski akhirnya mengiyakan pun, mereka tetap
punya jarak yang belum bisa dipebaiki. Mama sangat berharap Ceria menjadi
seperti dirinya, dan itulah yang membuat Mama sangat kecewa.
3. Penutup
Push parenting memiliki pola yang begitu khas yakni
penggambaran orang tua yang banyak menuntut dan ambisius. Menurut Elizabet B
Hurlock dalam (Muslima, 2015:88) ambisi orang tua terhadap anak seringkali
menunjukkan sikap yang tidak realistis. Munculnya rasa ambisius orang tua
dipengaruhi tidak tercapainya ambisi pada diri orang tua itu sendiri dan
hastrat menaikkan status sosial anak. Kemunculan rasa mendorong anak menjadi
pribadi yang lebih di atas anak lain memicu beban moril bagi anak. Anak akan
merasa adanya tekanan dari orang terdekat yang semestinya menjadi pendukung bagi
perkembangan mereka
Meskipun push parenting belum
sepenuhnya dapat dikenali karena diiring dengan idealisme dan toxic
postivity nyatanya dampak terhadap anak sangat signifikan. Anak akan
menutup diri, mudah tersinggung, sampai berpikiran berpikiran negatif terhadap
orang lain dan lingkungan, bersikap agresif, merasa minder dan tidak percaya
atas dirinya sendiri.
Dalam novel Happiness karya Fakhrisna
Amalia begitu kentara bagaimana pola push parenting yang dilakukan oleh
mamanya yang notabene adalah figur yang memiliki pengaruh besar bagi anaknya.
Banyak perlakuan yang diterima tokoh utama yang menjadi ‘korban’ atas pola asuh
yang sebenarnya di dasari atas ambisi pribadi, egoisme, dan keinginan untuk
selalu membandingkan. Hingga puncaknya membuat mental anak menjadi terganggu
sebab harus hidup dalam toxic positivity
yang membuat anak menjadi sosok tertutup dan terbebani.
4. Daftar Pustaka
Adam, Sumitro (2012) Hubungan antara Kematangan Emosi dengan Problem
Focused Coping Mahasiswa di Ma’had Putra Sunan Ampel al’Ali UIN Maliki
Malang. Undergraduate Thesis, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
http://etheses.uin-malang.ac.id/2609/. Diakses 11 Januari 2021.
Devi W, Cici (2012). Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kecerdasan Sosial
Pada Siswa Kelas VI SD Jatimulyo 01. Undergraduate Tesis, Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim, 11. http://etheses.uin-malang.ac.id/2225/. Diakses 11 Januari 2021.
Dewi, Hayuing Purnama (2020). Toxic Positivity: Ucapan Positif yang
Berdampak Negatif. Universitas Surabaya. https://www.ubaya.ac.id/2018/content/news_detail/2838/Toxic-Positivity--Ucapan-Positif-yang-Berdampak-Negatif.html. Diakses 12 Januari 2021.
Fauzi, M.R (2015). Hubungan Pola
Asuh Orang Tua dengan Motivasi Anak Berolahraga di Akademi Futsal Maestro
Bandung. Repository Universitas Pendidikan Indonesia, 10. http://repository.upi.edu/20820/. Diakses 12 Januari 2021.
Hasanuddin (2019) Pengaruh Pemberian Konseling Pribadi Terhadap Kemampuan
Berargumetasi dalam Berdiksusi Pada Siswa yang Introver di SMA Negeri 1 Barru. Jurnal
Bimbingan dan Konseling. https://jurnal.stkipmb.ac.id/index.php/bkmb/article/view/26/19. Diakes 11 Januari 2021
Hidayati, L. (2016). Stop! Push-Parenting: Shoot Parent’s Ambition as Kind
of Psychological Abuse in Parenting. Indonesian Journal of Islamic Early
Childhood Education. http://www.journal.pps-pgra.org/index.php/Ijiece/article/view/16. Diakses 12 Januari 2021.
Latipah, Eva. (2009). Strategi Pengenalan
Potensi Anak. http://digilib.uin-suka.ac.id/8145/1/EVA%20LATIPAH%20STRATEGI%20PENGENALAN%20POTENSI%20ANAK.pdf. Semantics Scholar. Diakses 11 Januari
2021
Muslima. (2015). Pola Asuh Orang Tua terhadap
Kecerdasan Finansial Anak. Jurnal Ar-Rainry, 88. https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/equality/article/view/781/611. Diakses 12 Januari 2021.
Muthmainnah. (2012). Kontribusi Pola Asuh
Orang Tua dalam Pendidikan Karakter. Jurnal Universitas Negeri Yogyakarta,
9. https://journal.uny.ac.id/index.php/diklus/article/view/3140. Diakses 12 Januari 2021.
Nuraini, C., S, V., Damaianti, &
Chairuddin. (2019). Tingkat Push Parentin pada Pola Asuh Keluarga di Karawang
dalam Penerapan Family Literacy Guna Mengembangkan Kemampuan Membaca dan
Menulis Anak. Seminar Internasional Riksa Bahasa XIII, 1148. http://proceedings.upi.edu/index.php/riksabahasa/article/view/992. Diakses 12 Januari 2021.
Rusdi. Filsafat Idealisme: Impliksinya dalam
Pendidikan. Dinamika Ilmu, 238. http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/LAINNYA/SRI_MARHANAH/catatan_kuliah_FILSAFAT_ILMU_idealisme.pdf. Diakses 12 Januari 2021.
Soerjoatmodjo, Gita W Laksmini (2020). Manakalah Positif Justru Negatif. Research
Gate. https://www.researchgate.net/publication/344519335_Manakala_Positif_Justru_Negatif. Diakses 2 Januari 2021
Tisngati, Urip dan Meifiani, Nely Indra
(2014). Pengaruh Kepercayaan Diri dan Pola Asuh Orang Tua pada Mata Kuliah
Teori Bilangan terhadap Prestasi Belajar. Jurnal Derivat. https://journal.upy.ac.id/index.php/derivat/article/view/109. Diakses 11 Januari 2021
Yusri, Fadhilla dan Jasmienti (2017). Pengaruh
Pemenuhan Kebutuhan Remaja Terhadap Tindakan Bully Siswa di PKBM Kasih Bundo
Kota Bukittinngi. Jurnal At-Taujih, 18. https://www.ejournal.uinib.ac.id/jurnal/index.php/attaujih/article/view/529. Diakses 11 Januari 2021.