PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Sajak sebagai perwujudan kreativitas, pada
dasarnya merupakan konsentrasi dan intensifikasi pernyataan dan kesan (Sayuti,
2000: 7). Sajak terdiri atas unsur-unsur penting yang membentuknya hingga
memberi makna bagi pembaca. Sebagaimana halnya pada unsur puisi berupa latar
yang memiliki peranan penting dalam suatu sajak karena sajak mampu memberikan
suasana yang sangat diperlukan dalam usaha menafsirkan puisi (Damono, 2014: 39
dalam Akbari, 2016: 76). Setiap jenis
latar membantu pembaca membayangkan dan memahami situasi dan suasana yang
diperlukan dalam melatari peristiwa.
Puisi yang dipilih untuk dianalisis berjumlah
empat judul puisi. Puisi-puisi yang dipilih merupakan karya dari Mutia Sukma. Dari
keempat puisi yang dipilih didasari dengan terdapatnya latar Yogyakarta pada
puisi. Hal itu pula yang mendasari asumsi bahwa dalam puisi ini membentuk
representasi terhadap Yogyakarta. Latar tersebut menjadi pendukung suasana yang
ingin disajikan oleh penulis. Representasi Yogyakarta yang digambarkan melalui
Borobudur, Kaki Merapi, Selokan Mataram, Kota Yogyakarta yang mendukung suasana
dalam empat puisi tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1.2.1
Bagaimana representasi Yogyakarta dalam puisi
karya Mutia Sukma?
1.2.2
Bagaimana latar Yogyakarta mendukung suasana
puisi karya Mutia Sukma?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1.3.1
Mengetahui representasi Yogyakarta dalam puisi
karya Mutia Sukma
1.3.2
Mengetahui latar Yogyakarta mendukung suasana
puisi karya Mutia Sukma
2. KERANGKA TEORI
Apresiasi puisi mengacu pada pengertian,
pengenalan, pertimbangan, penilaian, dan pernyataan yang memberikan penilaian. Dalam
apresiasi puisi akan menimbulkan berbagai pandangan yang berbeda. Kendati
demikian, puisi harus memiliki tujuan tertentu tergantung penyair membuatnya
sehingga puisi dapat dinikmati oleh pembaca.
Dalam sebuah puisi terdapat dua unsur penting
yakini unsur batin dan unsur fisik. Unsur batin meliputi tema, perasaan, nada
dan suasana, dan amanat. Tema merupakan
gagasan pokok yang dikemukakan oleh penyair melalui puisinya. Sedangkan
perasaan berkenaan dengan suatu keadaan rohani atau peristiwa kejiwaan yang
sedang dirasakan. Nada dan suasana adalah sikap penyair yang menibulkan makna
kejiwaan bagi pembaca. Serta amanat merupakan tujuan atau himbauan yang hendak
di sampaikan penyair melalui puisinya.
Unsur fisik dalam puisi meliputi diksi, pengimajian,
konkrit, majas, rima, dan tipografi. Diksi dalam puisi berupa kata-kata yang
dipilih secara cermat yang mempertimbangkan urutan kata dan daya magis kata yang
bermakna. Pengimajian berhubungan dengan daya bayang pikiran dan energi yang
mendorong menjelmakan gambar nyata dalam puisi. Konkret mengarah pada kata-kata
yang dilihat secara denotatif sama, namun secara konotatif memiliki perbedaan
sebab disesuaikan dengan kondisi tertentu. Majas dalam puisi berkenaan dengan
gaya bahasa secara primatis yang memberikan banyak makna. Rima dalam puisi
yakni perulangan bunyi-bunyi dalam puisi. Serta tipografi adalah tampilan fisik
yang membedakan antara puisi dengan karya sastra lainnya.
3. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini deskriptif
kualitatif dengan pendekatan semiotik. Pengumpulan data dilakukan berupa teknik
catat. Langkah-langah teknik pengolahan data berupa (a) menentukan puisi yang
akan dikaji, (b) membaca berulang-ulang puisi yang terpilih, serta (3)
mengidentifikasi, menandai, dan memberi kode kata, frase, atau larik-larik pada
puisi terpilih.
Analisis difokuskan pada latar tempat berupa
Yogyakarta dilihat dari makna denotasi maupun makna konotasi, dengan
memperhatikan latar tempat berupa Yogyakarta sebagai latar yang mendukung
suasana yang ingin dikomunikasikan penyair pada pembacanya.
Data utama sebagai objek kajian terpilih
adalah puisi Mutia Sukma. Data bersumber dari kumpulan puisi karya Mutia Sukma.
Terdapat lima judul puisi yang akan diteliti, yaitu:
1. Di Borobudur
2. Di Kaki Merapi
3. Selokan Mataram, Suatu Pagi
4. Sebuah Kota
4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Puisi yang dipilih untuk dianalis berjumlah
empat puisi. Puisi dipilih dari puisi-puisi karya Mutia Sukma. Dari keempat
puisi yang dipilih didasari dengan terdapatnya latar Yogyakarta pada puisi-puisi
tersebut. Hal itu pula yang mendasai asumsi bahwa dalam puisi ini membentuk
representasi terhdap Yogyakarta. Latar tersebut menjadi pendukung suasana yang
ingin disajikan oleh penulis. Representasi Yogyakarta yang digambarkan melalui
Borobudur, Kaki Merapi, Selokan Mataram, Kota Yogyakarta yang mendukung suasana
dalam empat puisi tersebut.
Puisi 1 “Di Borobudur”
Di Borobudur
aku membaca
jejak sidartha
di antara pekat hitam batu-batu
langit mengirim tangkaitangkainya
mengering di tubuh kami
yang basah
riuh perjalanan pun menjadi
relief baru yang memahat
cadas tua penangkas waktu
berlompatan mengirim kisahkisah lalu
yang diceritakan padaku
dikurung candi tanggal
kutemukan dirimu tetap di situ
;sidartha
memetik daundaun doa
yang tangkainya telah jatuh
di tubuhmu
untukku padamu
yang tetap di situ
Borobudur, 2007
Puisi “Di Borobudur” lirik tersebut ditujukan kepada
seseorang yang dianggapnya sebagai seseorang dari masa lalu. Sorot balik kisah
masa lalu yang berlatar di Borobudur, Yogyakarta melalui kutipan berlompatan
mengirim kisah-kisah lalu yang diceritakan padaku dikurung candi tanggal.
Citraan pengelihatan dijadikan metafora
berlatar Borobudur. Si ‘Aku’ dalam puisi ini lirik ingin menyampaikan sebuah
kenangan masa lalu yang masing tergambar jelas oleh ‘Aku’. Penggambaran
Borodubur terwakili dari pekat hitam batu-batu, relief, dan candi.
Pada puisi di atas penulis benar-benar
menggambarkan suasana dan kenangan saat mengunjungi Borobudur bersama
seseorang. Latar tempat itu seolah mengisyaratkan bahwa ada keistimewaan yang
masih membekas di Borobudur di Yogyakarta.
Puisi 2 “Di Kaki Merapi”
Di Kaki Merapi
bersama koto
Di kaki merapi
Aku tibatiba datang
Ke rumahmu; Gendhot
Jalan licin dan terjal batubatu
Menghantarku pada aroma air yang
Sedikit nakal
Menari di atas daun kelompong
Sawahsawah terasiring berkabut
Juga petani yang lalu
Lalang membawa tomat
Melebur seluruh jarak yang
Membikin kesemutan kakiku
Semua luruh menjadi gula
Di teh hangat bikinanmu
Kapankapan aku akan
Datang kembali
Bukakan lagi pintu rumahmu
Untuk kami, sepasang burung
Yang tak berumah
(Dukun, maret 2007)
Puisi “Di Kaki Merapi” lirik tentang sorot balik
perjalanan ‘Aku’ yang kembali mengingat kebahagian saat berkesempatan
mengunjungi sebuah rumah di kaki Merapi, Yogyakarta. Ditunjukkan dengan Kapankah
aku akan/Datang kembali/Bukakan lagi pintu rumahmu.
Latar kaki Merapi begitu kentara ketika setiap diksi yang
digunakan mengambarkan jalan licin dan terjal batu-batu, sawah-sawah
teasiring berkabung, petani yang lalu lalang membawat tomat. Latar-latat
tersebut memperkuat suasana yang hendak dibangun penulis sekaligus makna-makna
yang hendak disampaikan.
Melalui latar kaki Merapi secara tersurat bagaimana ‘Aku’
dijamu hangat oleh seseorng yang terpisah. Meski pun demikian kehangatan
tesebut masih terus terasa dengan segala ceritanya. Representasi Yogyakarta
yang istimewa begitu tergambar jelas dengan latar kaki Merapi yang hangat
dengan segala ceritanya.
Puisi 3 “Selokan Mataram, Suatu Pagi”
Selokan Mataram, Suatu Pagi
terpejam aku di tepi-tepi mimpimu
yang dingin
air yang hitam, penggilingan padi,
lapak-lapak kecil dan rumah-rumah
orang kaya
barang kali,
ketika tak sepagi ini
tak seperti ini rasanya,
meski kota
desa juga suasana yang kurasa
aku dan kamu
menjadi sepasang pecinta yang
mudah kagum
pada matahari yang terpantul di air
jembatan kayu tua yang lapuk
juga tangga yang menurun ke sungai,
atau menurun ke hatimu?
barangkali,
belum lengkap kita menikmati suasana
sebab pagi begitu cepat
sebab dirimu tampak begitu singkat.
Perubahan
segalanya yang terlihat indah
akan berubah di dunia ini
seperti bunga-bunga palsu itu
yang memutih dan lilinnya
mengelupas
di jalan raya
orang pemegang surat kemudi
mematuhi aturan lalu lintas
berhenti pada tempatnya
dan parkir di arena yang disediakan
tapi kota hanya boleh ditinggali orang
yang mau tak peduli dengan apa pun
marka jalan dibangun untuk dibiarkan
mengelupas lalu berkarat
segala yang terlihat indah
akan berubah di dunia ini
seperti cinta yang mulamula makin tak ada
museum-museum didirikan untuk
dipuja saat tua
tapi puisi kenangan dicipta
menjelma sayap burung
yang terbang dan entah bersarang di mana
Puisi “Selokan Mataram, Suatu Pagi” lirik tentang ‘Aku’ yang
kembali pada kisahnya pada seseorang di suatu pagi di Selokan Mataram.
Digambarkan suasana suatu pagi yang begitu sibuk, dengan waktu yang berjalan
begitu cepat bagi dua orang yang sedang merasakan romansa. Seperti halnya
ditunjukkan dalam belum lengkap kita menikmati suasana/sebab pagi
begitu cepat sebab dirimu tampak begitu singkat.
Meski pada akhirnya dari tempat itu pula, ‘Aku’ menyadari
bahwa sesuatu yang indah pasti tidak akan bertahan selamanya. Di Selokan
Mataram, sebuah tempat di Yogyakarata yang mengyiratkan berbagai cerita. ‘Aku’
menyadari sebab waktu akan terus berjalan mengantikan berbagai cerita-cerita
lama dengan sesuatu yang baru. Seperti halnya burung kenangan akan yang
terbang dan entah bersarang di mana.
Dengan demikian, begitu terasa bahwa Selokan Mataram
mengingatakan kebahagiaan dan kesedihan sekaligus. Menginat kesedihan yang kini
hanya sebatas kenangan yang semestinya tidak lagi perlu disesalkan. Sebab akan
mucul berbagai cerita baru yang menjadi pasti akan menjadi kenangan pula.
Puisi 4 “Sebuah Kota”
Sebuah Kota
hallo Yogya
kukepak sayap yang hampir patah
bulubulu yang gagal tumbuh
di sengat asap
bau selokan
juga bunga dan buah busuk
mengambang memenuhi kotaku
aku datang mengunyah setiap
kilometer angkaangka serta jarum jam
yang tak mau ditahan
di sini
kau malah termangu saja
di sudut taman
daun kuning murbai
hambur di pelataran
jari lentik menari
memainkan selendang lalu
melenggang kemudian
ikut gugur bersama daundaun
kuning murbai
hanya ada sambalsambal cerita
yang memerahkan pipiku yang gembil
ini kupulangkan
gambar malioboromu
yang dari kemarin kugenggam
maaf telah membentuk
lipatanlipatan
garis murung dan lupa
dinyanyikannyanyikan
ah, kau tak mau menerimanya?
sudah bosankah menyesap segala aroma?
sungguh, aku tak mau
gambar ini lagi
darimu aku belajar
mengeja ceritacerita kota
yang lebih segar dari kotaku sendiri
kubuang gambar malioboro
dan aku mulai terbang
pulang!
Puisi “Sebuah Kota” lirik tentang sebuah keistimewaan
Yogyakarta bagi si “Aku’ yang merasakan bahwa Yogyakata dengan makhluk dan
kisah di dalamnya telah melibihi kekaguman akan kotanya sendiri seperti
ditunjukkan dengan kutipan mengeja cerita-cerita kota yang lebih segar dari
kotaku sendiri.
Puisi di atas menggambarkan kedatangan seseorang dari
kota asalnya ke Yogyakarta yang menempuh jarak setiap kilometer angkaangka
serta jarum jam yang tak mau ditahan. Hingga ketika ia akhirnya sampai pada
kota yang ingin ditujunya itu ia termenggu mengingat kisah-kisah terdahulu.
Representasi Yogyakarta kembali terlihat ditunjukkan dari
kutipan ini kupulangkan gambar malioboromu. Bahwa cerita tentang Yogyakarta sudah
sepantasnya menjadi sekadar kenangan. Ia ingin menunju fase-fase baru dan
menjadikan segala halnya menjadi cerita yang mengesankan. Hal itu diperkuat
dengan bait di baris terakhir kubuang gambar malioboro dan aku mulai
terbang.
5. PENUTUP
Latar memiliki peranan penting dalam sajak
karena memberikan susana yang sangat diperlukan dalam usaha kita menafsirkan
puisi (Damono, 2014: 39 dalam Akbari, 2016). Masing-masing latar memberi
gambaran suasana dan situasi dalam melatarbelakangi perisiwa. Dalam sebuah
puisi terkadang hanya berupa latar tanpa ‘peristiwa’ yang diungkapkan sehingga
latar itu sendirilah yang menjadi peristiwanya.
Pada empat puisi yang telah dinalisis, tampak
bahwa latar berupa tempat yakni Yogyakarta menjadi suasana dan nada yang
terbangun dari keempat puisi tersebut. Suasana Yogyakarta digambarkan melalui representasi
Borobudur, Kaki Merapi, Selokan Mataram, Kota Yogyakarta yang mendukung suasana
dalam empat puisi tersebut. Secara keseluruahn puisi merujuk pada representasi
Yogyakarta yang akan kenangan yang sulit terlupakan.
Puisi “Di Borobudur” lirik tersebut ditujukan
kepada seseorang yang dianggapnya sebagai seseorang dari masa lalu. Sorot balik
kisah masa lalu yang berlatar di Borobudur, Yogyakarta melalui kutipan berlompatan
mengirim kisah-kisah lalu yang diceritakan padaku dikurung candi tanggal.
Citraan pengelihatan dijadikan metafora berlatar Borobudur. Si ‘Aku’ dalam
puisi ini lirik ingin menyampaikan sebuah kenangan masa lalu yang masing
tergambar jelas oleh ‘Aku’. Penggambaran Borodubur terwakili dari pekat
hitam batu-batu, relief, dan candi.
Puisi “Di Kaki Merapi” lirik tentang sorot balik
perjalanan ‘Aku’ yang kembali mengingat kebahagian saat berkesempatan
mengunjungi sebuah rumah di kaki Merapi, Yogyakarta. Latar kaki Merapi begitu
kentara ketika setiap diksi yang digunakan. Representasi Yogyakarta yang
istimewa begitu tergambar jelas dengan latar kaki Merapi yang hangat dengan
segala ceritanya.
Puisi “Selokan Mataram, Suatu Pagi” lirik tentang ‘Aku’
yang kembali pada kisahnya pada seseorang di suatu pagi di Selokan Mataram.
Digambarkan suasana suatu pagi yang begitu sibuk, dengan waktu yang berjalan
begitu cepat bagi dua orang yang sedang merasakan romansa. Selokan Mataram
mengingatakan kebahagiaan dan kesedihan sekaligus. Menginat kesedihan yang kini
hanya sebatas kenangan yang semestinya tidak lagi perlu disesalkan. Sebab akan
mucul berbagai cerita baru yang menjadi pasti akan menjadi kenangan pula.
Puisi “Sebuah Kota” lirik tentang sebuah keistimewaan
Yogyakarta bagi si “Aku’ yang merasakan bahwa Yogyakata dengan makhluk dan
kisah di dalamnya telah melibihi kekaguman akan kotanya sendiri seperti ditunjukkan
dengan kutipan mengeja cerita-cerita Representasi Yogyakarta terlihat
ditunjukkan dari kutipan ini kupulangkan gambar malioboromu. Bahwa cerita tentang Yogyakarta sudah
sepantasnya menjadi sekadar kenangan. Ia ingin menunju fase-fase baru dan menjadikan
segala halnya menjadi cerita yang mengesankan. Hal itu diperkuat dengan bait di
baris terakhir kubuang gambar malioboro dan aku mulai terbang.
DAFTAR PUSTAKA
Akbari, Siti. 2016. “Hujan” dalam Puisi Karya
Sono Farid Maulana. Balai Bahasa Kalimantan Selatan. Volume 12 Nomor 1.
Sayuti, Suminto A. 2000. Semerbak Sajak.
Yogyakarta: Gama Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar