Selasa, 27 Juli 2021

Representasi Yogyakarta dalam Puisi Karya Mutia Sukma

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Penelitian

Sajak sebagai perwujudan kreativitas, pada dasarnya merupakan konsentrasi dan intensifikasi pernyataan dan kesan (Sayuti, 2000: 7). Sajak terdiri atas unsur-unsur penting yang membentuknya hingga memberi makna bagi pembaca. Sebagaimana halnya pada unsur puisi berupa latar yang memiliki peranan penting dalam suatu sajak karena sajak mampu memberikan suasana yang sangat diperlukan dalam usaha menafsirkan puisi (Damono, 2014: 39 dalam Akbari, 2016: 76).  Setiap jenis latar membantu pembaca membayangkan dan memahami situasi dan suasana yang diperlukan dalam melatari peristiwa.

Puisi yang dipilih untuk dianalisis berjumlah empat judul puisi. Puisi-puisi yang dipilih merupakan karya dari Mutia Sukma. Dari keempat puisi yang dipilih didasari dengan terdapatnya latar Yogyakarta pada puisi. Hal itu pula yang mendasari asumsi bahwa dalam puisi ini membentuk representasi terhadap Yogyakarta. Latar tersebut menjadi pendukung suasana yang ingin disajikan oleh penulis. Representasi Yogyakarta yang digambarkan melalui Borobudur, Kaki Merapi, Selokan Mataram, Kota Yogyakarta yang mendukung suasana dalam empat puisi tersebut.

1.2  Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.2.1        Bagaimana representasi Yogyakarta dalam puisi karya Mutia Sukma?

1.2.2        Bagaimana latar Yogyakarta mendukung suasana puisi karya Mutia Sukma?

 

1.3  Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.3.1        Mengetahui representasi Yogyakarta dalam puisi karya Mutia Sukma

1.3.2        Mengetahui latar Yogyakarta mendukung suasana puisi karya Mutia Sukma

 

2.      KERANGKA TEORI

Apresiasi puisi mengacu pada pengertian, pengenalan, pertimbangan, penilaian, dan pernyataan yang memberikan penilaian. Dalam apresiasi puisi akan menimbulkan berbagai pandangan yang berbeda. Kendati demikian, puisi harus memiliki tujuan tertentu tergantung penyair membuatnya sehingga puisi dapat dinikmati oleh pembaca.

Dalam sebuah puisi terdapat dua unsur penting yakini unsur batin dan unsur fisik. Unsur batin meliputi tema, perasaan, nada dan suasana, dan amanat.  Tema merupakan gagasan pokok yang dikemukakan oleh penyair melalui puisinya. Sedangkan perasaan berkenaan dengan suatu keadaan rohani atau peristiwa kejiwaan yang sedang dirasakan. Nada dan suasana adalah sikap penyair yang menibulkan makna kejiwaan bagi pembaca. Serta amanat merupakan tujuan atau himbauan yang hendak di sampaikan penyair melalui puisinya.

Unsur fisik dalam puisi meliputi diksi, pengimajian, konkrit, majas, rima, dan tipografi. Diksi dalam puisi berupa kata-kata yang dipilih secara cermat yang mempertimbangkan urutan kata dan daya magis kata yang bermakna. Pengimajian berhubungan dengan daya bayang pikiran dan energi yang mendorong menjelmakan gambar nyata dalam puisi. Konkret mengarah pada kata-kata yang dilihat secara denotatif sama, namun secara konotatif memiliki perbedaan sebab disesuaikan dengan kondisi tertentu. Majas dalam puisi berkenaan dengan gaya bahasa secara primatis yang memberikan banyak makna. Rima dalam puisi yakni perulangan bunyi-bunyi dalam puisi. Serta tipografi adalah tampilan fisik yang membedakan antara puisi dengan karya sastra lainnya.

3.      METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini deskriptif kualitatif dengan pendekatan semiotik. Pengumpulan data dilakukan berupa teknik catat. Langkah-langah teknik pengolahan data berupa (a) menentukan puisi yang akan dikaji, (b) membaca berulang-ulang puisi yang terpilih, serta (3) mengidentifikasi, menandai, dan memberi kode kata, frase, atau larik-larik pada puisi terpilih.

Analisis difokuskan pada latar tempat berupa Yogyakarta dilihat dari makna denotasi maupun makna konotasi, dengan memperhatikan latar tempat berupa Yogyakarta sebagai latar yang mendukung suasana yang ingin dikomunikasikan penyair pada pembacanya.

Data utama sebagai objek kajian terpilih adalah puisi Mutia Sukma. Data bersumber dari kumpulan puisi karya Mutia Sukma. Terdapat lima judul puisi yang akan diteliti, yaitu:

 

1.      Di Borobudur

2.      Di Kaki Merapi

3.      Selokan Mataram, Suatu Pagi

4.      Sebuah Kota

 

4.      ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Puisi yang dipilih untuk dianalis berjumlah empat puisi. Puisi dipilih dari puisi-puisi karya Mutia Sukma. Dari keempat puisi yang dipilih didasari dengan terdapatnya latar Yogyakarta pada puisi-puisi tersebut. Hal itu pula yang mendasai asumsi bahwa dalam puisi ini membentuk representasi terhdap Yogyakarta. Latar tersebut menjadi pendukung suasana yang ingin disajikan oleh penulis. Representasi Yogyakarta yang digambarkan melalui Borobudur, Kaki Merapi, Selokan Mataram, Kota Yogyakarta yang mendukung suasana dalam empat puisi tersebut.

Puisi 1 “Di Borobudur”

Di Borobudur

 

aku membaca jejak sidartha
di antara pekat hitam batu-batu
langit mengirim tangkaitangkainya
mengering di tubuh kami
yang basah
riuh perjalanan pun menjadi
relief baru yang memahat
cadas tua penangkas waktu
berlompatan mengirim kisahkisah lalu
yang diceritakan padaku
dikurung candi tanggal
kutemukan dirimu tetap di situ
;sidartha
memetik daundaun doa
yang tangkainya telah jatuh
di tubuhmu

 

untukku padamu
yang tetap di situ

 

Borobudur, 2007

 

 

Puisi “Di Borobudur” lirik tersebut ditujukan kepada seseorang yang dianggapnya sebagai seseorang dari masa lalu. Sorot balik kisah masa lalu yang berlatar di Borobudur, Yogyakarta melalui kutipan berlompatan mengirim kisah-kisah lalu yang diceritakan padaku dikurung candi tanggal.

Citraan pengelihatan dijadikan metafora berlatar Borobudur. Si ‘Aku’ dalam puisi ini lirik ingin menyampaikan sebuah kenangan masa lalu yang masing tergambar jelas oleh ‘Aku’. Penggambaran Borodubur terwakili dari pekat hitam batu-batu, relief, dan candi.

Pada puisi di atas penulis benar-benar menggambarkan suasana dan kenangan saat mengunjungi Borobudur bersama seseorang. Latar tempat itu seolah mengisyaratkan bahwa ada keistimewaan yang masih membekas di Borobudur di Yogyakarta.

Puisi 2 “Di Kaki Merapi”

Di Kaki Merapi
bersama koto

 

Di kaki merapi
Aku tibatiba datang
Ke rumahmu; Gendhot
Jalan licin dan terjal batubatu
Menghantarku pada aroma air yang
Sedikit nakal
Menari di atas daun kelompong

 

Sawahsawah terasiring berkabut
Juga petani yang lalu
Lalang membawa tomat
Melebur seluruh jarak yang
Membikin kesemutan kakiku
Semua luruh menjadi gula
Di teh hangat bikinanmu

 

Kapankapan aku akan
Datang kembali
Bukakan lagi pintu rumahmu
Untuk kami, sepasang burung
Yang tak berumah

 

(Dukun, maret 2007)

 

Puisi “Di Kaki Merapi” lirik tentang sorot balik perjalanan ‘Aku’ yang kembali mengingat kebahagian saat berkesempatan mengunjungi sebuah rumah di kaki Merapi, Yogyakarta. Ditunjukkan dengan Kapankah aku akan/Datang kembali/Bukakan lagi pintu rumahmu.

 

Latar kaki Merapi begitu kentara ketika setiap diksi yang digunakan mengambarkan jalan licin dan terjal batu-batu, sawah-sawah teasiring berkabung, petani yang lalu lalang membawat tomat. Latar-latat tersebut memperkuat suasana yang hendak dibangun penulis sekaligus makna-makna yang hendak disampaikan.

 

Melalui latar kaki Merapi secara tersurat bagaimana ‘Aku’ dijamu hangat oleh seseorng yang terpisah. Meski pun demikian kehangatan tesebut masih terus terasa dengan segala ceritanya. Representasi Yogyakarta yang istimewa begitu tergambar jelas dengan latar kaki Merapi yang hangat dengan segala ceritanya.

 

Puisi 3 “Selokan Mataram, Suatu Pagi”

Selokan Mataram, Suatu Pagi

terpejam aku di tepi-tepi mimpimu

yang dingin

air yang hitam, penggilingan padi,

lapak-lapak kecil dan rumah-rumah

orang kaya

barang kali,

ketika tak sepagi ini

tak seperti ini rasanya,

meski kota

desa juga suasana yang kurasa

aku dan kamu

menjadi sepasang pecinta yang

mudah kagum

pada matahari yang terpantul di air

jembatan kayu tua yang lapuk

juga tangga yang menurun ke sungai,

atau menurun ke hatimu?

barangkali,

belum lengkap kita menikmati suasana

sebab pagi begitu cepat

sebab dirimu tampak begitu singkat.

Perubahan

segalanya yang terlihat indah

akan berubah di dunia ini

seperti bunga-bunga palsu itu

yang memutih dan lilinnya

mengelupas

di jalan raya

orang pemegang surat kemudi

mematuhi aturan lalu lintas

berhenti pada tempatnya

dan parkir di arena yang disediakan

tapi kota hanya boleh ditinggali orang

yang mau tak peduli dengan apa pun

marka jalan dibangun untuk dibiarkan

mengelupas lalu berkarat

segala yang terlihat indah

akan berubah di dunia ini

seperti cinta yang mulamula makin tak ada

museum-museum didirikan untuk

dipuja saat tua

tapi puisi kenangan dicipta

menjelma sayap burung

yang terbang dan entah bersarang di mana

 

 

Puisi “Selokan Mataram, Suatu Pagi” lirik tentang ‘Aku’ yang kembali pada kisahnya pada seseorang di suatu pagi di Selokan Mataram. Digambarkan suasana suatu pagi yang begitu sibuk, dengan waktu yang berjalan begitu cepat bagi dua orang yang sedang merasakan romansa. Seperti halnya ditunjukkan dalam belum lengkap kita menikmati suasana/sebab pagi begitu cepat sebab dirimu tampak begitu singkat.

 

Meski pada akhirnya dari tempat itu pula, ‘Aku’ menyadari bahwa sesuatu yang indah pasti tidak akan bertahan selamanya. Di Selokan Mataram, sebuah tempat di Yogyakarata yang mengyiratkan berbagai cerita. ‘Aku’ menyadari sebab waktu akan terus berjalan mengantikan berbagai cerita-cerita lama dengan sesuatu yang baru. Seperti halnya burung kenangan akan yang terbang dan entah bersarang di mana.

 

Dengan demikian, begitu terasa bahwa Selokan Mataram mengingatakan kebahagiaan dan kesedihan sekaligus. Menginat kesedihan yang kini hanya sebatas kenangan yang semestinya tidak lagi perlu disesalkan. Sebab akan mucul berbagai cerita baru yang menjadi pasti akan menjadi kenangan pula.

 

Puisi 4 “Sebuah Kota”

 

Sebuah Kota

 

hallo Yogya
kukepak sayap yang hampir patah
bulubulu yang gagal tumbuh
di sengat asap
bau selokan
juga bunga dan buah busuk
mengambang memenuhi kotaku
aku datang mengunyah setiap
kilometer angkaangka serta jarum jam
yang tak mau ditahan

 

di sini
kau malah termangu saja
di sudut taman
daun kuning murbai
hambur di pelataran
jari lentik menari
memainkan selendang lalu
melenggang kemudian
ikut gugur bersama daundaun
kuning murbai
hanya ada sambalsambal cerita
yang memerahkan pipiku yang gembil

 

ini kupulangkan
gambar malioboromu
yang dari kemarin kugenggam
maaf telah membentuk
lipatanlipatan
garis murung dan lupa
dinyanyikannyanyikan

 

ah, kau tak mau menerimanya?
sudah bosankah menyesap segala aroma?
sungguh, aku tak mau
gambar ini lagi

 

darimu aku belajar
mengeja ceritacerita kota
yang lebih segar dari kotaku sendiri
kubuang gambar malioboro
dan aku mulai terbang

 

pulang!

 

Puisi “Sebuah Kota” lirik tentang sebuah keistimewaan Yogyakarta bagi si “Aku’ yang merasakan bahwa Yogyakata dengan makhluk dan kisah di dalamnya telah melibihi kekaguman akan kotanya sendiri seperti ditunjukkan dengan kutipan mengeja cerita-cerita kota yang lebih segar dari kotaku sendiri.

 

Puisi di atas menggambarkan kedatangan seseorang dari kota asalnya ke Yogyakarta yang menempuh jarak setiap kilometer angkaangka serta jarum jam yang tak mau ditahan. Hingga ketika ia akhirnya sampai pada kota yang ingin ditujunya itu ia termenggu mengingat kisah-kisah terdahulu.

 

 

Representasi Yogyakarta kembali terlihat ditunjukkan dari kutipan ini kupulangkan gambar malioboromu.  Bahwa cerita tentang Yogyakarta sudah sepantasnya menjadi sekadar kenangan. Ia ingin menunju fase-fase baru dan menjadikan segala halnya menjadi cerita yang mengesankan. Hal itu diperkuat dengan bait di baris terakhir kubuang gambar malioboro dan aku mulai terbang.

 

5.      PENUTUP

Latar memiliki peranan penting dalam sajak karena memberikan susana yang sangat diperlukan dalam usaha kita menafsirkan puisi (Damono, 2014: 39 dalam Akbari, 2016). Masing-masing latar memberi gambaran suasana dan situasi dalam melatarbelakangi perisiwa. Dalam sebuah puisi terkadang hanya berupa latar tanpa ‘peristiwa’ yang diungkapkan sehingga latar itu sendirilah yang menjadi peristiwanya.

Pada empat puisi yang telah dinalisis, tampak bahwa latar berupa tempat yakni Yogyakarta menjadi suasana dan nada yang terbangun dari keempat puisi tersebut. Suasana Yogyakarta digambarkan melalui representasi Borobudur, Kaki Merapi, Selokan Mataram, Kota Yogyakarta yang mendukung suasana dalam empat puisi tersebut. Secara keseluruahn puisi merujuk pada representasi Yogyakarta yang akan kenangan yang sulit terlupakan.

Puisi “Di Borobudur” lirik tersebut ditujukan kepada seseorang yang dianggapnya sebagai seseorang dari masa lalu. Sorot balik kisah masa lalu yang berlatar di Borobudur, Yogyakarta melalui kutipan berlompatan mengirim kisah-kisah lalu yang diceritakan padaku dikurung candi tanggal. Citraan pengelihatan dijadikan metafora berlatar Borobudur. Si ‘Aku’ dalam puisi ini lirik ingin menyampaikan sebuah kenangan masa lalu yang masing tergambar jelas oleh ‘Aku’. Penggambaran Borodubur terwakili dari pekat hitam batu-batu, relief, dan candi.

Puisi “Di Kaki Merapi” lirik tentang sorot balik perjalanan ‘Aku’ yang kembali mengingat kebahagian saat berkesempatan mengunjungi sebuah rumah di kaki Merapi, Yogyakarta. Latar kaki Merapi begitu kentara ketika setiap diksi yang digunakan. Representasi Yogyakarta yang istimewa begitu tergambar jelas dengan latar kaki Merapi yang hangat dengan segala ceritanya.

 

Puisi “Selokan Mataram, Suatu Pagi” lirik tentang ‘Aku’ yang kembali pada kisahnya pada seseorang di suatu pagi di Selokan Mataram. Digambarkan suasana suatu pagi yang begitu sibuk, dengan waktu yang berjalan begitu cepat bagi dua orang yang sedang merasakan romansa. Selokan Mataram mengingatakan kebahagiaan dan kesedihan sekaligus. Menginat kesedihan yang kini hanya sebatas kenangan yang semestinya tidak lagi perlu disesalkan. Sebab akan mucul berbagai cerita baru yang menjadi pasti akan menjadi kenangan pula.

 

Puisi “Sebuah Kota” lirik tentang sebuah keistimewaan Yogyakarta bagi si “Aku’ yang merasakan bahwa Yogyakata dengan makhluk dan kisah di dalamnya telah melibihi kekaguman akan kotanya sendiri seperti ditunjukkan dengan kutipan mengeja cerita-cerita Representasi Yogyakarta terlihat ditunjukkan dari kutipan ini kupulangkan gambar malioboromu.  Bahwa cerita tentang Yogyakarta sudah sepantasnya menjadi sekadar kenangan. Ia ingin menunju fase-fase baru dan menjadikan segala halnya menjadi cerita yang mengesankan. Hal itu diperkuat dengan bait di baris terakhir kubuang gambar malioboro dan aku mulai terbang.

 

DAFTAR PUSTAKA

Akbari, Siti. 2016. “Hujan” dalam Puisi Karya Sono Farid Maulana. Balai Bahasa Kalimantan Selatan. Volume 12 Nomor 1.

Sayuti, Suminto A. 2000. Semerbak Sajak. Yogyakarta: Gama Media.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Etika dalam Menyimak

"Malu bertanya sesat di jalan”   sadar atau pun tidak ungkapan ini telah banyak mempengaruhi pemikiran masyarakat saat ini. Bertanya se...