Kamis, 30 April 2020

Kenapa Menulis?

Kenapa Aku Menulis?

Jika ditanya hal itu, jujur saja aku juga bingung harus mulai menjelaskan dari bagian mana. Aku sama sekali tidak suka membaca apalagi menulis. Jika ditanya siapa penulis yang aku suka, jawabannya adalah tidak tahu. Aku hanya sekadar membaca satu buku dari Tere Liye, Andrea Hirata dan Gitasav. Hanya sebatas itu. Jadi bisa dikatakan bahwa aku belum tahu penulis mana yang nantinya akan aku idolakan.

Awal aku menulis, ketika guru bahasa Indonesiaku sewaktu smp meminta aku dan teman-teman lain untuk mengikuti salah satu lomba menulis. Lomba menulis surat untuk ibu. Awalanya  bingung sekali apa yang harus ditulis, karena yang biasa aku tulis hanya teks eksposisi, eksplanasi dan cerpen dengan struktur-struktur teks yang memang telah tercantum di buku.

Jadi ketika Bu Woro, mulai memberikan gambaran tentang cara penulisan surat sedikit banyak pun mulai aku terapkan, dengan cara menulis. Aku lupa hari dan tanggal pasti ketika hari itu Ibu Woro menghamipiri dan mengabarkan kalau surat yang aku tulis kemarin menjadi juara tiga. Semua yang terjadi rasanya sangat mudah. Sebuah permulaan yang menyehatkan hati dan jiwa. 

Cerpen Pertama

Perkenalanku dengan menulis memang tidak terduga. Saat itulah Bu Woro kembali memberiku kesempatan untuk kembali menulis. Menulis cerpen. Setelah menyodorkan cerpen berjudul " Namaku Fatimah" Bu Woro pun memintaku untuk membuat kisah yang lebih realistis. Karena jujur saja ketika aku membaca ulang cerpen itu sekarang benar-benar sulit diungkapkan. Ah sudahlah! Aku pun mulai menulis cerita yang lebih berhubungan dengan situasi saat itu. Kepala sekolahku Bu Surliani mengusulkan untuk menulis tentang banjir. Karena pada saat itu beberapa daerah di Bangka Tengah harus merasakan banjir.

(Omong-omong pada saat terjadi banjir aku sempat ke sekolah dan ternyata semua sekolah diliburkan, a diligent girl) aku pun menulis cerpen "Banjir Bandang Melanda" dengan benar-benar memperhatikan segala masukan dan arahan yang diberikan Bu Woro.

FLS2N

Beberapa siswa dipercaya mewakili smp dalam FLS2N tingkat kabupaten. Aku mewakili dalam bidang cipta cerpen. Dengan segala persiapan yang aku rasa cukup, aku pun mulai percaya diri. Ketika perlombaan dimulai aku tidak menyangka jika tema pada saat itu adalah tentang seni dan karakter. Sedangkan yang aku persiapkan adalah tentang banjir. Meskipun pada waktu yang bersamaan aku sempat down dan bingung akan menuliskan apa, tapi akhirnya aku tetap dapat menyelesaikan penulisan cerpen tersebut. Ini memang kesalah terbesarku. Aku tidak teliti dalam melihat juknis lomba yang ditetapkan. Hingga kalian tahu hasilnya? Iya, benar aku gagal. Dan aku menangis. Aku tidak dapat melupakan kecerobohan itu. Saat itulah pertama kali aku berkenalan dengan kata sifat yang selau menyertai para pejuang yaitu gagal.

Berhenti Menulis

Sejak saat itu aku tidak pernah lagi menulis. Aku lebih fokus pada persiapan UN yang sudah ada didepan mata. Semua memori tentang menulis hilang begitu saja. 

SMA

Program menteri pendidikan dan kebudayaan saat itu Anies Baswedan yaitu literasi ternyata diterapkan di SMA. Saat pengenalan lingkungan sekolah (sempet beberapa kali mendengarkan kata literasi namun belum paham betul maksudnya) hingga saat itu wali kelasku,  Bu Nelly meminta para siswa menyiapkan satu buku bacaan dan buku tulis. Nantinya 15 menit sebelum pelajaran dimulai siswa diwajibkan membaca dan menulis di buku yang telah disiapkan. Saat itulah aku kembali menulis. Apapun bisa ditulis mulai dari ulasan sebuah buku, cerpen, puisi, lagu sampai curhatan. Apalagi setiap tulisan yang ditulis akan dibaca dan dikomentari oleh Bu Nelly. Rasanya seperti seorang penulis sungguhan. 

Festival Literasi Sekolah

Literasi saat itu sedang gencar-gencar disuarakan, pihak sekolah pun mengadakan berbagai perlombaan. Seperti membaca cepat, menghias kelas, dan menulis cerpen. Karena saran dari beberapa teman yang tahu aku pernah menulis cerpen di SMP aku pun diberikan kesempatan oleh Bu Nelly untuk menulis cerpen. Aku pun berusaha mempersiapkan diri dengan baik. Hingga akhirnya cerpen yang bersumber dari kisah nyata itu pun bisa menjadi juara 3 dan satu-satunya siswa kelas 10 yang menang :)

Semua Tentang Menulis

Setelah dari perlombaan itu, aku dan teman-teman lain diminta Bu Nelly untuk mengikuti salah satu lomba karya tulis ilmiah yang diselenggarakan dinas kearsipan. Meskipun tidak menjadi pemenang setidaknya aku bersyukur bisa berkesempatan untuk menulis. Setidaknya karena pernah menulis nonfiksi. Aku pun bisa diberikan kesempatan menulisikan karya nonfiksiku berupa opini di surat kabar. Ini semua memang tentang keinginan dan kesempatan. Terima kasih Bu Nelly. Setidaknya sampai hari ini aku masih menulis dan berusaha untuk menyukai membaca. Karena menulis tidak akan bisa tanpa membaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Etika dalam Menyimak

"Malu bertanya sesat di jalan”   sadar atau pun tidak ungkapan ini telah banyak mempengaruhi pemikiran masyarakat saat ini. Bertanya se...