Kamis, 05 September 2019

Tembok Tanpa Batas Negeri Pertiwi


Tembok Tanpa Batas Negeri Pertiwi
https://hot.liputan6.com/read/4015618/cara-mengecat-tembok-lama-dengan-berbagai-kondisi-cocok-untuk-pemula


Jari jemari menatap takjub tembok khatulistiwa
Menjulang rapat melintasi serambi nol derajat
Bersentuh jiwa bersama deretan tembok raksasa Pulau Jawa
Berdiri sambung menyambung hingga langit Papua
Tembok memesona
berdiri perkasa tanpa dipaksa
Menghadap gerak gerik perbedaan yang mendewasa

NKRI
Tembok berlatar keindahan negeri
Dibangun sang saudagar pemurah hati
Sebab teramat dalam memendam cinta terhadap negeri
Negeri pembangun kontribusi
Indah sekali

Terima kasih saudagar pemurah hati
Pembuka penerangan hati pemuda pemudi
Terkhusus aku yang mulai mengerti
Perasaan takjub akan bumi pertiwi
Bumi yang selama ini memberi polesan arti
Pun tak segan berujar Aku Cinta NKRI

Tembok tanpa batas negeri pertiwi
Materialnya mengikuti penuh arti
Susunan bata merah bersilang tegak berdiri
Mengokohkan keberanian persatuan yang terikat janji
Tiang besi menjulang menyanggah kehancuran
Kehancuran tali temali perbedaan


Pemuda pemudi merapat barisan
Bersekongkol menahan kerapuan tembok negeri pertiwi
Bersama menggenggam jiwa kebesaran
Kebesaran hati menerima kebinekaan
Lantas menolak segala rupa bersitegang
Meluluhlantakkan badai perpecahan

NKRI
Aku bersepakat dengan nurani
Menjaga keutuhan setiap fondasi tembok negeri beribu pulau
Menaruh cinta akan tembok persatuan
Tembok persatuan kelompok menolak pertempuran
Berdiri kokoh tanpa batas di negeri pertiwi

Pelabuhan Terakhir



Pelabuhan Terakhir

“Amerta!”
“Anda mengenal saya?”
“Itu,” Ia tertawa.

Ia menunjuk nama yang tersemat di seragamku. Persisnya di sebelah kanan atas. Amerta Azal. Atas dasar apa pun, panggilan itu sangat tidak sopan untukku. Bisa-bisanya ia menjadikan namaku sebagai sebuah lelucon. Aku tidak mengenal siapa dia. Dan lihatlah, dia sekarang hanya cengengesan seolah menertawakanku. Apa ia tidak tahu makna di balik namaku ini?
Amerta Azal, abadi dan kekal. Seorang gadis yang kekal abadi menikmati dunia yang berjalan di luar nalarnya. Di saat orang-orang ramai bercengkerama, sedang perempuan sepertiku hanya bisa membuka lembaran buku tebal. Sesekali melepas kacamata dan memperhatikan suasana sekitar yang amat buram.  Minusku 11.

“Mau ikut denganku?”
“Ke mana,?”
“Ke tempat yang akan membuatmu lebih normal”

Entah apa yang dimaksud normal, semua pernyataan tak beralasan itu akhirnya berhasil mendorongku mengiyakan kemauan orang itu. Ia berhasil membuatku masuk ke mobil yang telah ia pesan melalui aplikasi online. Ada apa ini? Kenapa aku bisa bersama orang yang sama sekali tidak aku kenali.

Bersama kegelisahan dan kecemasan yang mengiringi di perjalanan, aku dibawa melipir ke suatu tempat yang teramat sulit aku jelaskan. Entah apa tujuannya, yang pasti setiap aku kembali berdiri di sini aku selalu teringat pulauku, rumahku, dan ceritaku. Di tempat ini aku menyaksikan mereka-mereka yang akan bahagia bertemu sanak saudara. Sedang aku kini hanya bisa merasakan hembusan napas penyesalan. Lagi. 

“Pulanglah sekarang! Tidak ada alasan lagi kamu di sini. Mulailah menerima segala yang telah terjadi.”
Aku tersentak. Sebenarnya siapa makhluk ini. Apa yang ia tahu tentang diriku saat ini? Ia kekeh tak mau bicara usai kucecar sejumlah pertanyaan, yang berujung tanpa jawaban. Ia menjulurkan sebuah tiket. Mengisyaratkan bahwa aku harus segera pergi meninggalkan kota ini. Kota tempat aku melampiaskan segala kesengsaraan yang dibuat seseorang yang kupanggil, ibu.

***
Ibu dengan napas tersengal memasukkan satu demi satu pakaiannya ke dalam tas cokelat tua. Sesekali ia menyeka air matanya yang tidak dapat berhenti menetes sejak tadi. Aku yang berada persis di samping ibu tidak tahu harus berbuat apa. Beberapa pertanyaan aku lontarkan pada ibu, tentang apa yang terjadi pada ibu. Ibu hanya diam, ia terus menangis sampai pakaian-pakaian itu semua masuk ke dalam tas. 

Lantas ibu langsung ke luar rumah tanpa memedulikan bapak yang tak acuh. Aku tetap mengikuti ibu dari belakang. Aku menahan ibu agar tidak pergi, sampai Paman Boim datang dan langsung membonceng ibu. Aku menangis sejadi-jadinya. Ibu mencium kening dan memelukku. Aku tetap menangis hingga membuat Paman Boim yang berada di atas motor tidak sampai hati dan mengizinkanku untuk ikut bersama keduanya. 

Bersama dinginnya malam itu, kami bergerak melaju ke arah utara. Motor itu memberhentikan kami di tempat yang amat ramai dan bising. Sebuah pemandangan amat sesak dipenuhi manusia yang lalu lalang memijakkan kakinya di sini. Wajah ibu masih basah. Ibu kembali mencium dan memelukku. 

Ibu langsung berlari, ibu langsung pergi meninggalkan aku tanpa satu kata apa pun. Paman Boim menahanku dari belakang. Menarikku dan mengajakku meninggalkan pelabuhan.

Ibu memang pergi saat itu dan yang aku tahu satu-satunya orang yang mestiku minta jawaban atas kepergian ibu tidak lain dan tidak bukan pasti Bapak.  Sejak dari pelabuhan aku langsung menanyakan pada bapak perihal kepergian itu. Termasuk sebab utama ibu akhirnya tega meninggalkan aku, anak semata wayangnya. 

Bapak hanya diam. Aku terus mencerca bapak dengan segala pertanyaan yang berkecamuk dihatiku. Tidak tahan mendengar segala pertanyaan yang mungkin bapak rasa telah memojokkannya, bapak segera mengumpat sumpah serapah. Aku tidak pernah melihat bapak semarah itu. Bapak memukul tangannya sendiri di tembok mengeluarkan segala amarah yang membabi buta pada benda-benda mati di rumah. Bapak bahkan mengusirku.

“Ibumu memang harus pergi, ia tidak tahu diri!” ujar bapak.
Hari itu aku terus melaknat diriku sendiri. Bapak, seorang yang selama ini selalu memanjakanku, yang selalu berlaku lembut kepadaku kini tega memberikan umpatan kemarahan untuk pertama  kalinya. Bahkan ia tega mengusirku dari tempat yang selama ini memberikan kesempurnaan keluarga untukku. 

Saat itu aku yakin ibu lah penyebab dari segala masalah ini. Ayah tidak mungkin melakukan segala hal ini tanpa sebab. Ibu pasti telah melakukan suatu hal yang membuat ayah murka. Ibu yang membuat semua ini terjadi. Dan lihatlah sekarang ibu pergi. Ibu tega meninggalkan aku dengan segala penderitaan ini.
***
Mengingat kejadian delapan tahun lalu, rasanya jantungku ditimpa salah satu hal yang membuatnya teramat sakit. Sakit sekali mengenang hal-hal sudah lama sekali aku kuburkan. Sembari mengingat-ingat dan membayangkan kisah hidupku yang amat menyedihkan. Ah, sudahlah sampai hari ini pun, aku tidak tahu kenapa aku bisa terdampar jauh di negeri ini. Yang aku tahu aku hanya ingin menciptakan jarak agar aku bisa menikmati kesunyian ini sendiri. Mengubur dalam-dalam masalah yang ibu ciptakan dalam hidupku.

Tiap-tiap mengingat kisah itu aku selalu ke pelabuhan. Menanyakan segala hal kepada diriku sendiri kenapa semua ini bisa terjadi. Aku memang pergi dari tempat yang membuat masalah ini terjadi, namun dimana pun tempatnya aku sama sekali tidak bisa melarikan diri dari masalah. Orang itu benar, sekalipun aku melangkah jauh ke pulau ini yang aku rasakan tetap sesak. 

“Kamu dulu seorang periang Amerta. Kamu dulu senang ke pelabuhan menyaksikan ramai manusia di sana.” Aku hanya diam setalah menerjemahkan ucapannya yang berarti sebelumnya ia mengenalku.

“Merasakan kebahagian-kebahagiann orang-orang yang akan jumpa dengan orang terkasih itu memang senang rasanya. Namun aku rasa itu percuma aku tidak akan bisa seperti mereka. Lagi,” jawabku memandang ke arah bawah.

Lagi-lagi aku malas harus berdebat dengan orang yang tidak sepemikiranku. Maksudku, tidak baik juga membenarkan diri kita di hadapan mereka yang tidak paham cara pandang kita. Menurutnya, sia-sia saja aku berada di sini. Aku berada di sini hanya menambah masalah untuk diriku sendiri. Sekalipun aku telah melangkah jauh kesini yang aku rasakan tetap sunyi, sebab yang ia tahu (sekaligus inginkan), aku harus segera selesaikan segala sesak di dadaku ini. Aku mesti cari ibuku, memohon maaf atas segala buruk sangkaku yang kini menyiksa batinku sendiri.

Jujur, sulit sekali sependapat dengan orang itu. Orang yang lambat laun terbongkar kedoknya bahwa ia bagian dari orang yang mengenal lebih diriku. 

“Ibu sekarang sakit. Ibu ingin sekali bertemu denganmu Amerta,” wajahnya pasrah atas perlakuanku barusan.

Aku hanya diam. Aku tidak tahu setelah mendengar berita itu bagaimana harusnya aku bersikap. Apa aku harus segera menemui ibu atau menghiraukan atas segala perlakuan terhadapku.

“Ibu yang memilih pergi. Ibu yang memilih meninggalkan aku dan bapak,” ucapku begitu saja.

Orang itu hanya diam. Matanya menunjukkan amarah yang tertahan. Ia seperti ingin sekali aku menemui ibu. Entah apa hubungannya dengan ibu, sepertinya ia amat peduli terhadap ibu.

“Aku anak bu Lastri,”
“Maksudmu? Kamu anak ibu?” aku terkejut dengan pernyataannya.

***
Dia menariku menuju sebuah bangku. Sepertinya akan banyak cerita yang ingin ia bagikan kepadaku. Termasuk alasan kepergian ibu.

“Ibu telah masuk terlalu dalam ke hatimu Amerta, sampai kamu tak pernah mempertanyakan tentang ibu kandungmu. Itulah yang menurut bapakmu tega mengusir ibu. Bapakmu takut  kalau cintamu kepada ibu membuat semuanya hancur ” jelasnya dengan napas teratur. 

“Bapakmu tidak akan biarkan itu. Sejak awal ibu dan bapakmu menikah hanya untuk mengurangi rasa gundah bapakmu, mereka dipaksa. Sampai akhirnya ibu amat menyayangimu. Sama seperti rasa sayang yang kamu rasakan pada ibu, Amerta,” sambungnya lagi tanpa memberiku ruang untuk menimpali.

Aku hanya diam. Berusaha menerima kalau ternyata Ibu Lastri bukan ibu kandungku.
“Kalau ibu sayang kepadaku kenapa ibu pergi?” ujarku berusaha tidak menerima segala hal itu
“Ibu tidak akan tega merusak kebahagiaanmu Amerta, ibu memilih mengalah demi kamu dan bapakmu. Dan apabila boleh jujur, aku merasa sangat senang ketika ibu akhirnya memutuskan meninggalkan kalian, karena akhirnya ibu menjadi milikku seutuhnya. Rupanya itu hanya untukku. Hanya aku yang memiliki ibu seutuhnya, tapi ibu kehilangan keutuhan yang ia miliki selama ini. Yaitu kamu Amerta, belahan jiwa ibu.”

Aku kehabisan kata-kata. Rasanya tidak ada lagi yang perlu aku pertanyakan. Semuanya sudah jelas. Berat sekali memahami segala yang dijelaskan orang itu, yang aku tahu namanya Azal. Sama seperti nama belakangku. Ternyata guyonannya tentang namaku bukannya karena ia melihat nama yang tersemat di belakangku, namun ternyata ia tahu banyak tentang kisahku. 

“Akan kutemui bapak, aku yakin bapak dan ibu akan bisa kembali bersama,” kataku
“Bapak dan ibu tidak harus bersama lagi. Tapi tolong temui ibu di pelabuhan. Jangan jadikan kejadian delapan tahun lalu menjadi pelabuhan terakhir kalian,” ucapnya terakhir kali.




***
Selepas hari itu, aku langsung ke pelabuhan menemui ibu. Yang membuatku tak kalah bahagia adalah keberadaan bapak sekarang. Bapak ikut bersamaku untuk menemui ibu.
“Aku selalu menunggu Ibu di Pelabuhan Buk. Aku tidak tahu ini pelabuhan terakhir atau bukan yang pasti meskipun ramai manusia dan suasana ini. Aku selalu merasa sunyi tanpa hadir ibu.” 




















Etika dalam Menyimak

"Malu bertanya sesat di jalan”   sadar atau pun tidak ungkapan ini telah banyak mempengaruhi pemikiran masyarakat saat ini. Bertanya se...