Pelabuhan Terakhir
“Amerta!”
“Anda mengenal saya?”
“Itu,” Ia tertawa.
Ia menunjuk nama yang tersemat di seragamku. Persisnya
di sebelah kanan atas. Amerta Azal. Atas dasar apa pun, panggilan itu sangat
tidak sopan untukku. Bisa-bisanya ia menjadikan namaku sebagai sebuah lelucon. Aku
tidak mengenal siapa dia. Dan lihatlah, dia sekarang hanya cengengesan seolah
menertawakanku. Apa ia tidak tahu makna di balik namaku ini?
Amerta Azal, abadi dan kekal. Seorang gadis
yang kekal abadi menikmati dunia yang berjalan di luar nalarnya. Di saat
orang-orang ramai bercengkerama, sedang perempuan sepertiku hanya bisa membuka
lembaran buku tebal. Sesekali melepas kacamata dan memperhatikan suasana sekitar
yang amat buram. Minusku 11.
“Mau ikut denganku?”
“Ke mana,?”
“Ke tempat yang akan membuatmu lebih normal”
Entah apa yang dimaksud normal, semua
pernyataan tak beralasan itu akhirnya berhasil mendorongku mengiyakan kemauan
orang itu. Ia berhasil membuatku masuk ke mobil yang telah ia pesan melalui
aplikasi online. Ada apa ini? Kenapa aku bisa bersama orang yang sama
sekali tidak aku kenali.
Bersama kegelisahan dan kecemasan yang mengiringi
di perjalanan, aku dibawa melipir ke suatu tempat yang teramat sulit aku
jelaskan. Entah apa tujuannya, yang pasti setiap aku kembali berdiri di sini
aku selalu teringat pulauku, rumahku, dan ceritaku. Di tempat ini aku
menyaksikan mereka-mereka yang akan bahagia bertemu sanak saudara. Sedang aku
kini hanya bisa merasakan hembusan napas penyesalan. Lagi.
“Pulanglah sekarang! Tidak ada alasan lagi
kamu di sini. Mulailah menerima segala yang telah terjadi.”
Aku tersentak. Sebenarnya siapa makhluk ini.
Apa yang ia tahu tentang diriku saat ini? Ia kekeh tak mau bicara usai kucecar
sejumlah pertanyaan, yang berujung tanpa jawaban. Ia menjulurkan sebuah tiket. Mengisyaratkan
bahwa aku harus segera pergi meninggalkan kota ini. Kota tempat aku
melampiaskan segala kesengsaraan yang dibuat seseorang yang kupanggil, ibu.
***
Ibu dengan napas tersengal memasukkan satu
demi satu pakaiannya ke dalam tas cokelat tua. Sesekali ia menyeka air matanya
yang tidak dapat berhenti menetes sejak tadi. Aku yang berada persis di samping
ibu tidak tahu harus berbuat apa. Beberapa pertanyaan aku lontarkan pada ibu,
tentang apa yang terjadi pada ibu. Ibu hanya diam, ia terus menangis sampai
pakaian-pakaian itu semua masuk ke dalam tas.
Lantas ibu langsung ke luar rumah tanpa memedulikan
bapak yang tak acuh. Aku tetap mengikuti ibu dari belakang. Aku menahan ibu
agar tidak pergi, sampai Paman Boim datang dan langsung membonceng ibu. Aku
menangis sejadi-jadinya. Ibu mencium kening dan memelukku. Aku tetap menangis hingga
membuat Paman Boim yang berada di atas motor tidak sampai hati dan mengizinkanku
untuk ikut bersama keduanya.
Bersama dinginnya malam itu, kami bergerak melaju
ke arah utara. Motor itu memberhentikan kami di tempat yang amat ramai dan
bising. Sebuah pemandangan amat sesak dipenuhi manusia yang lalu lalang memijakkan
kakinya di sini. Wajah ibu masih basah. Ibu kembali mencium dan memelukku.
Ibu langsung berlari, ibu langsung pergi
meninggalkan aku tanpa satu kata apa pun. Paman Boim menahanku dari belakang.
Menarikku dan mengajakku meninggalkan pelabuhan.
Ibu memang pergi saat itu dan yang aku tahu
satu-satunya orang yang mestiku minta jawaban atas kepergian ibu tidak lain dan
tidak bukan pasti Bapak. Sejak dari
pelabuhan aku langsung menanyakan pada bapak perihal kepergian itu. Termasuk
sebab utama ibu akhirnya tega meninggalkan aku, anak semata wayangnya.
Bapak hanya diam. Aku terus mencerca bapak
dengan segala pertanyaan yang berkecamuk dihatiku. Tidak tahan mendengar segala
pertanyaan yang mungkin bapak rasa telah memojokkannya, bapak segera mengumpat
sumpah serapah. Aku tidak pernah melihat bapak semarah itu. Bapak memukul tangannya
sendiri di tembok mengeluarkan segala amarah yang membabi buta pada benda-benda
mati di rumah. Bapak bahkan mengusirku.
“Ibumu memang harus pergi, ia tidak tahu
diri!” ujar bapak.
Hari itu aku terus melaknat diriku sendiri.
Bapak, seorang yang selama ini selalu memanjakanku, yang selalu berlaku lembut
kepadaku kini tega memberikan umpatan kemarahan untuk pertama kalinya. Bahkan ia tega mengusirku dari
tempat yang selama ini memberikan kesempurnaan keluarga untukku.
Saat itu aku yakin ibu lah penyebab dari
segala masalah ini. Ayah tidak mungkin melakukan segala hal ini tanpa sebab.
Ibu pasti telah melakukan suatu hal yang membuat ayah murka. Ibu yang membuat
semua ini terjadi. Dan lihatlah sekarang ibu pergi. Ibu tega meninggalkan aku
dengan segala penderitaan ini.
***
Mengingat kejadian delapan tahun lalu, rasanya
jantungku ditimpa salah satu hal yang membuatnya teramat sakit. Sakit sekali
mengenang hal-hal sudah lama sekali aku kuburkan. Sembari mengingat-ingat dan
membayangkan kisah hidupku yang amat menyedihkan. Ah, sudahlah sampai hari ini
pun, aku tidak tahu kenapa aku bisa terdampar jauh di negeri ini. Yang aku tahu
aku hanya ingin menciptakan jarak agar aku bisa menikmati kesunyian ini
sendiri. Mengubur dalam-dalam masalah yang ibu ciptakan dalam hidupku.
Tiap-tiap mengingat kisah itu aku selalu ke pelabuhan.
Menanyakan segala hal kepada diriku sendiri kenapa semua ini bisa terjadi. Aku
memang pergi dari tempat yang membuat masalah ini terjadi, namun dimana pun
tempatnya aku sama sekali tidak bisa melarikan diri dari masalah. Orang itu
benar, sekalipun aku melangkah jauh ke pulau ini yang aku rasakan tetap sesak.
“Kamu dulu seorang periang Amerta. Kamu dulu
senang ke pelabuhan menyaksikan ramai manusia di sana.” Aku hanya diam setalah menerjemahkan
ucapannya yang berarti sebelumnya ia mengenalku.
“Merasakan kebahagian-kebahagiann orang-orang
yang akan jumpa dengan orang terkasih itu memang senang rasanya. Namun aku rasa
itu percuma aku tidak akan bisa seperti mereka. Lagi,” jawabku memandang ke
arah bawah.
Lagi-lagi aku malas harus berdebat dengan orang
yang tidak sepemikiranku. Maksudku, tidak baik juga membenarkan diri kita di
hadapan mereka yang tidak paham cara pandang kita. Menurutnya, sia-sia saja aku
berada di sini. Aku berada di sini hanya menambah masalah untuk diriku sendiri.
Sekalipun aku telah melangkah jauh kesini yang aku rasakan tetap sunyi, sebab
yang ia tahu (sekaligus inginkan), aku harus segera selesaikan segala sesak di dadaku
ini. Aku mesti cari ibuku, memohon maaf atas segala buruk sangkaku yang kini
menyiksa batinku sendiri.
Jujur, sulit sekali sependapat dengan orang
itu. Orang yang lambat laun terbongkar kedoknya bahwa ia bagian dari orang yang
mengenal lebih diriku.
“Ibu sekarang sakit. Ibu ingin sekali bertemu
denganmu Amerta,” wajahnya pasrah atas perlakuanku barusan.
Aku hanya diam. Aku tidak tahu setelah
mendengar berita itu bagaimana harusnya aku bersikap. Apa aku harus segera
menemui ibu atau menghiraukan atas segala perlakuan terhadapku.
“Ibu yang memilih pergi. Ibu yang memilih meninggalkan
aku dan bapak,” ucapku begitu saja.
Orang itu hanya diam. Matanya menunjukkan
amarah yang tertahan. Ia seperti ingin sekali aku menemui ibu. Entah apa hubungannya
dengan ibu, sepertinya ia amat peduli terhadap ibu.
“Aku anak bu Lastri,”
“Maksudmu? Kamu anak ibu?” aku terkejut dengan
pernyataannya.
***
Dia menariku menuju sebuah bangku. Sepertinya
akan banyak cerita yang ingin ia bagikan kepadaku. Termasuk alasan kepergian
ibu.
“Ibu telah masuk terlalu dalam ke hatimu Amerta,
sampai kamu tak pernah mempertanyakan tentang ibu kandungmu. Itulah yang
menurut bapakmu tega mengusir ibu. Bapakmu takut kalau cintamu kepada ibu membuat semuanya
hancur ” jelasnya dengan napas teratur.
“Bapakmu tidak akan biarkan itu. Sejak awal
ibu dan bapakmu menikah hanya untuk mengurangi rasa gundah bapakmu, mereka
dipaksa. Sampai akhirnya ibu amat menyayangimu. Sama seperti rasa sayang yang
kamu rasakan pada ibu, Amerta,” sambungnya lagi tanpa memberiku ruang untuk
menimpali.
Aku hanya diam. Berusaha menerima kalau ternyata
Ibu Lastri bukan ibu kandungku.
“Kalau ibu sayang kepadaku kenapa ibu pergi?”
ujarku berusaha tidak menerima segala hal itu
“Ibu tidak akan tega merusak kebahagiaanmu
Amerta, ibu memilih mengalah demi kamu dan bapakmu. Dan apabila boleh jujur,
aku merasa sangat senang ketika ibu akhirnya memutuskan meninggalkan kalian,
karena akhirnya ibu menjadi milikku seutuhnya. Rupanya itu hanya untukku. Hanya
aku yang memiliki ibu seutuhnya, tapi ibu kehilangan keutuhan yang ia miliki
selama ini. Yaitu kamu Amerta, belahan jiwa ibu.”
Aku kehabisan kata-kata. Rasanya tidak ada
lagi yang perlu aku pertanyakan. Semuanya sudah jelas. Berat sekali memahami
segala yang dijelaskan orang itu, yang aku tahu namanya Azal. Sama seperti nama
belakangku. Ternyata guyonannya tentang namaku bukannya karena ia melihat nama
yang tersemat di belakangku, namun ternyata ia tahu banyak tentang kisahku.
“Akan kutemui bapak, aku yakin bapak dan ibu akan
bisa kembali bersama,” kataku
“Bapak dan ibu tidak harus bersama lagi. Tapi
tolong temui ibu di pelabuhan. Jangan jadikan kejadian delapan tahun lalu menjadi
pelabuhan terakhir kalian,” ucapnya terakhir kali.
***
Selepas hari itu, aku langsung ke pelabuhan
menemui ibu. Yang membuatku tak kalah bahagia adalah keberadaan bapak sekarang. Bapak ikut bersamaku untuk menemui ibu.
“Aku selalu menunggu Ibu di Pelabuhan Buk. Aku
tidak tahu ini pelabuhan terakhir atau bukan yang pasti meskipun ramai manusia
dan suasana ini. Aku selalu merasa sunyi tanpa hadir ibu.”